Djatmito mengatakan Indonesia setidaknya terlibat dalam 80 kasus sengketa, seperti yang sedang berlangsung dengan Uni Eropa. Ada yang sifatnya Indonesia sebagai responden maupun complement, yakni soal nikel di mana International Undergraduate Program atau IUP bersifat sebagai complement. Begitu juga dengan sawit, baja, atau biodiesel.
"Dalam kesepakatan para menteri kami memang terus mendorong agar ada kesepakatan untuk mereaktifasi kembali, tapi belum berhasil karena Amerika masih kekeh (bertahan)," ujarnya.
Tapi dia berharap itu akan menjadi komitmen untuk menyelesaikan sebuah isu soal sengketa dan banding.
"Sehingga diharapkan mandat Konferensi Tingkat Menteri ke-12 yang lalu tentang sistem penyelesaian sengketa di WTO itu bisa berfungsi secara penuh di 2024. Meski tidak berhasil, kami masih punya beberapa bulan ke depan hingga akhir 2024 untuk melakukan berbagai upaya untuk mengaktifkan kembali," paparnya.
Djatmiko menambahkan, Indonesia akan berdiri di garis terdepan untuk mengawal proses tersebut.
Pilihan Editor: Namanya Santer Disebut jadi Calon Menkeu Prabowo Pengganti Sri Mulyani, Respons Kartika Wirjoatmodjo?