TEMPO.CO, Jakarta - Berbeda dengan di negara lain, pinjaman online atau Pinjol di Indonesia menjadi perkara yang problematik. Hal ini diungkapkan oleh Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumsi (YLKI) Tulus Abadi. Lembaganya menerima banyak pengaduan langsung yang berkaitan dengan kasus Pinjol. Per 2023 kemarin, YLKI menampung sebanyak 180 pengaduan konsumen terkait Pinjol. Angka ini mencapai 50 persen dari total pengaduan yang masuk ke YLKI pada 2023.
Tulus mengatakan bahwa Pinjol di negara lain bukanlah persoalan, sebagaimana di Indonesia. "Tapi di kita itu menjadi hal yang sangat problematik, serius. Kenapa? Karena di satu sisi, pemerintah hanya pintar membuka keran digital economy, tetapi tidak punya upaya kebijakan untuk memitigasi dampak dari digital economy itu," tutur dia di kantor YLKI pada Selasa, 23 Januari 2024.
Menurutnya, salah satu dampak yang paling serius dari kebijakan pemerintah membuka keran ekonomi digital tanpa mitigasi adalah kehadiran masalah Pinjol ilegal. "Ini kan sebenarnya pinjol ilegal adalah semacam anak haram di dalam digital economy, tetapi pemerintah tidak mengantisipasinya dan kemudian korban begitu masif."
Ia menambahkan, korban dari kasus Pinjol ilegal adalah masyarakat miskin. Pasalnya, menurut Tulus masyarakat miskin tidak paham tata caranya, sehingga pinjol ilegal masih menjamur. "Dari yang legal saja masih menimbulkan masalah, yang ilegal ini lebih bermasalah lagi. Dan YLKI bisa berbuat apa? Karena itu kan menyangkut penegakan hukum yang sifatnya complicated. Polisi dan satgas saja tidak bisa berbuat banyak untuk itu, apalagi kita," katanya.
Namun, Tulus menyayangkan mengapa persoalan yang nampak jelas tersebut masih dibiarkan menjamur. "Apakah mungkin ada yang backing, cukong, atau apa? Kita tidak tahu. Itu adalah satu dampak ekonomi yang tidak dimitigasi oleh pemerintah."
Ia menegaskan, ekonomi digital yang begitu masif tidak sejalan dengan peran pemerintah dalam memastikan perlindungan konsumen. Pengembangan ekonomi digital atau financial technology (fintech) memang bagus, hanya saja harus diperkuat segala instrumentasinya. "Instrumentasi hukum, instrumentasi kebijakan, dan juga masyarakat sendiri sebenarnya belum siap untuk itu. Sehingga menjadi persoalan-persoalan yang begitu masif," tutur Tulus.
Di sisi lain, kata dia, pinjol ilegal tak hanya sekadar persoalan utang-piutang saja. Namun, telah merembet kepada persoalan pidana, pembunuhan perceraian, pemecatan dari tempat kerja, dan dampak-dampak lainnya. "Saya sering menerima orang yang nangis-nangis minta pertolongan. Ujung-ujungnya kadang-kadang ironis sekali, dia minta YLKI menutup utangnya. Dari mana ceritanya kok YLKI suruh menutup utang pinjol itu?"
Pilihan Editor: Walhi Sebut Pernyataan Gibran Tak Sesuai Fakta: Food Estate Singkong Gagal, Tidak Pernah Panen