TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Kartika Wirjoatmodjo alias Tiko menjelaskan ada tiga aspek penting dalam program holding ultra mikro untuk masyarakat di Indonesia. Holding ultra mikro merupakan sinergi PT Bank Rakyat Indonesia Tbk sebagai induk bersama PT Pegadaian dan PT Permodalan Nasional Madani (PNM) untuk mewujudkan layanan keuangan yang lengkap, terintegrasi, dan memenuhi kebutuhan pelaku usaha.
“Kami sudah meneliti mengenai mikro ini cukup lama, dan selama ini memang ada tiga aspek yang orang belum melihat yaitu aksesibilitas, penjaminan, dan pembinaan,” ujar Tiko dalam dalam acara Diskusi Taman BRI yang digelar virtual pada Jumat, 12 Januari 2024.
Menurut dia, aksesibilitas dengan biaya operasi yang murah akan sulit dibangun tanpa jaringan dengan digital. Sementara untuk penjaminan, masyarakat di bawah masih banyak yang belum bankable, sehingga perlu penjaminan.
Selanjutnya masyarakat di bawah juga tidak memiliki akses kompetensi berusaha yang baik, sehingga perlu dilakukan pembinaan. Sehingga, Tiko menjelaskan, membangkitkan masyarakat ultra mikro untuk bisa masuk ke akses keuangan dan berkelanjutan itu perlu tiga-tiganya. “Tiga aspek itu harus dilakukan melalui jaringan yang luar biasa besar,” tutur Tiko.
Tiko membeberkan bahwa saat ini jaringan untuk menjangkau masyarakat di bawah tidak hanya dari BRI melalui unit cabang di berbagai wilayah yang jumlahnya sekitar 8.000-an. Namun ada juga dari program PNM Membina Ekonomi Keluarga Sejahtera (PMN Mekaar), yang memiliki AO Mekaar—generasi muda yang turun membantu nasabah Mekaar—jumlahnya 50 ribuan.
Serta Pegadaian dengan berbagai cabangnya. Namun, yang membantu juga, Tiko menjelaskan, ada yang namanya Agen BRILink yang jumlahnya 600 ribuan. “Ekosistem ini yang kami bangun bersama,” tutur Tiko.
Dulu, dia berujar, menurunkan biaya operasional adalah hal yang paling krusial. Karena biaya operasional sangat mahal. Tiko juga mengaku berbicara dengan beberapa orang termasuk Presiden Joko Widodo alias Jokowi bahwa biaya terbesar masyarakat di bawah itu bukan biaya kredit, tapi biaya layanan.
Hal itu kemudian dibangun dengan jaringan agen tersebut supaya biaya layanannya bisa menjadi murah. Dengan begitu BRI bisa memberikan aksesibilitas dari utang yang ukurannya kecil seperti Rp 2-3 jutaan. Bahkan dulu, biaya layanan bisa lebih tinggi dibandingkan dengan pendapatan bunga dari utang itu sendiri.
“Dengan melakukan digitalisasi dan merekrut agen, AO Mekaar dan sebagainya ini, akmi bisa menurunkan cost to serve-nya,” ucap Tiko. “Sehingga bisa lebih murah dan bisa accessible buat masyarakat yang hanya pinjam Rp 2,5 juta.”
Kemudian perluasan penjaminan juga perlu dilakukan. Tiko mengatakan pihaknya sedang bernegosiasi dengan kementerian terkait agar penjaminan bisa diperluas untuk ultra mikro. Karena, isu yang muncul ketika mulai berusaha, masyarakat tersebut belum bankable.
Sehingga pemerintah harus hadir memberikan penjaminan di awal. Tujuannya agar masyarakat dalam satu atau dua siklus awal dalam melakukan pinjaman, pemerintah bisa menalangi melalui asuransi PT Jaminan Kredit Indonesia (Jamkrindo) atau PT Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo) melalui kredit usaha rakyat.
“Itu sudah terjadi sangat baik, jadi skalanya besar sekali KUR ini sekarang,” kata Tiko.
Kemudian yang jangan sampai dilupakan adalah pembinaan yang penting bagi masyarakat untuk punya kompetensi berusaha dengan benar. Misalnya seperti, membuat kemasan produk, logistiknya, mengelola keuangannya, dan sebagainya. Contoh program yang dilakukan seperti AO Mekaar dengan ibu-ibu prasejahtera.
“Ini menjadi penting tidak bisa hanya dikasih uang, dikasih penjaminan tapi perlu dibina juga supaya mereka tahu cara berusaha dan cara mengelola cash flow-nya dengan benar,” ujar dia.
Pilihan Editor: Usai Mendapat Skor 11 dari Anies, Prabowo Bertanya ke Pengusaha: Berapa Nilai Saya?