RUU yang merupakan inisiatif legislatif untuk mengganti Undang-Undang (UU) Pos Nomor 6 Tahun 1984 ini diharapkan bisa rampung pada Agustus 2009. "Kami mendorong RUU yang telah dibahas sejak Mei 2009 ini supaya lebih cepat dituntaskan," kata Ketua Umum Asperindo, M Kadrial, di Jakarta, Rabu (10/6).
Apalagi, ia melanjutkan, usulan terhadap perubahan Undang-Undang Pos sebenarnya telah diajukan Asperindo sejak Februari 2001. Sasaran pokok usulan itu adalah penghapusan monopoli public service obligation (PSO) oleh PT Pos Indonesia (Persero). Termasuk menginginkan pengakuan keberadaan dokumen sebagai komoditas, bukan surat. Karena dalam praktiknya ada perbedaan nilai antara surat dengan dokumen.
Lainnya adalah agar pengaturan keberadaan asing menjadi lebih jelas. Sebab, dalam Undang-Undang Pos belum mengatur tentang perusahaan asing. "Asperindo mengusulkan agar operasional domestik hanya diperuntukkan pengusaha dalam negeri," ujar Kadrial.
Terakhir adalah untuk memberikan kepastian hukum, seiring dengan perkembangan usaha jasa titipan, tuntutan masyarakat, dan kepentingan pemerintah dalam era pasar global. "Maka UU Pos perlu diperbaharui, karena sudah tidak dapat mengakomodir kepentingan semua pihak," kata dia.
Menanggapi dorongan Asperindo ini, anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Bintang Reformasi, Anhar Nasution, memastikan bahwa Dewan memang sedang berusaha mempercepat penyelesaian RUU Perposan itu. Bahkan Panitia Khusus RUU Perposan dan pemerintah terus melakukan rapat maraton. "Sampai saat ini pembahasannya (RUU Perposan) lancar-lancar saja, tidak ada masalah," kata Anhar, saat dihubungi lewat telepon.
Menurut dia, pemerintah dan Panitia Khusus umumnya juga menyepakati tidak ada monopoli pada industri jasa titipan. Termasuk menambahkan aturan soal pembatasan kepemilikan asing pada perusahaan jasa titipan di Indonesia. "Jadi, lokal harus lebih besar dari pada asing," ujarnya.
WAHYUDIN FAHMI