TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Serikat Karyawan Garuda Indonesia (Sekarga) Dwi Yulianta mengatakan pernyataan Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra tidak sesuai dengan fakta yang terjadi dalam tubuh perusahaan pelat merah itu. "Sangat berbanding terbalik dengan fakta yang ada," ujar Dwi dalam keterangan tertulis Kamis 21 Desember 2023.
Menurut Dwi, justru manajemen Garuda Indonesia yang selama ini sering melakukan pelanggaran Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dan Undang-undang.
Hal ini disampaikan Dwi menanggapi pernyataan Dirut Garuda Indonesia Irfan Setiaputra usai dilaporkan pidana oleh Sekarga ke Bareskrim Polri. Sekarga melaporkan bos Garuda Indonesia itu melakukan pidana kejahatan terkait penghentian pemotongan iuran anggota Sekarga.
Irfan Setiaputra mengatakan, kebijakan penghentian pemotongan iuran keanggotaan dari gaji karyawan tersebut merupakan upaya perusahaan mendorong independensi Serikat Karyawan agar lebih mandiri dalam mengelola iuran keanggotaannya. “Termasuk guna menjaga aspek akuntabilitas dan kredibilitasnya terhadap seluruh anggotanya,” ujar Irfan lewat keterangan tertulis pada Rabu, 20 Desember 2023
Irfan juga mengatakan bahwa penghentian bantuan pemotongan iuran keanggotaan serikat tersebut diharapkan dapat meminimalisir potensi terjadinya perselisihan atas pembebanan langsung iuran keanggotaan serikat dari gaji karyawan. Selain itu, yang perlu dipahami adalah tidak ada kepentingan perusahaan untuk mengintervensi pengelolaan kepengurusan serikat, termasuk keanggotaan karyawan pada serikat karyawan.
Dengan kebijakan ini diharapkan anggota dapat melakukan pembayaran iuran secara langsung, yang tentunya dapat dilakukan dengan mudah dan cepat oleh setiap anggota serikat. Perusahaan, Irfan berujar, menaruh perhatian serius terhadap upaya menjaga hubungan industrial yang kuat bersama Serikat Pekerja
"Komitmen ini yang juga terus kami jaga selama proses restrukturisasi beberapa waktu lalu guna memastikan kepentingan karyawan dapat terus dikedepankan,” kata Irfan.
Menanggapi pernyataan Irfan ini, Dwi mengatakan penghentian pemotongan iuran anggota Sekarga yang dilakukan pada saat tanggal penerimaan gaji karyawan adalah bukti nyata manajemen melanggar PKB dan Undang-undang. "Padahal iuran tersebut bukan bantuan uang dari perusahaan melainkan uang karyawan yang menjadi anggota Sekarga," tuturnya.
Karyawan yang menjadi anggota Sekarga, menurut Dwi, dengan sukarela membuat surat kuasa untuk meminta dipotong Iuran anggota untuk kepentingan biaya organisasi Sekarga
Kesepakatan pemotongan Iuran anggota tersebut, ujar Dwi, juga sudah diatur dalam PKB dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No.187/MEN/X Tahun 2004 khususnya Pasal 2 dan Pasal 3.
Dwi menegaskan, tindakan manajemen melakukan penghentian pemotongan iuran anggota adalah bukti nyata buruknya Hubungan Industrial di tubuh Garuda Indonesia dan masih banyak juga bukti Pelanggaran terhadap Implementasi Perjanjian Kerja Bersama dan Undang-undang.
"Bahwa selama ini manajemen tidak mengindahkan jika kami pengurus Sekarga mengingatkan atas semua pelanggaran tersebut," ucap Dwi.
Dwi menambahkan, bukti lain atas buruknya Hubungan Industrial di Internal Garuda Indonesia adalah manajemen tidak pernah merespon usulan Sekarga terkait dengan pembentukan Lembaga Konsultasi/Lembaga Kerjasama Bipartit sebagaimana amanat Undang-Undang padahal Lembaga. "Inilah yang menjadi wadah Komunikasi, Konsultasi antara Perusahaan/manajemen dengan dan karyawan yang diwakili oleh pengurus Serikat Pekerja/Sekarga," kata Dwi.
Sebagai mitra perusahaan/manajemen, Dwi mengatakan, pengurus Sekarga selalu terbuka untuk bekerjasama membicarakan permasalahan Hubungan Industrial namun sangat disesalkan pihak perusahaan bersikap tertutup dan merespon negatif terhadap Sekarga dan terus menerus melakukan pelanggaran PKB dan Undang-Undang.
Dwi juga mengatakan pernyataan Irwan yang mengatakan penghentian iuran anggota Sekarga adalah untuk mendidik kemandirian Sekarga adalah pernyataan yang mengada-ngada serta sulit dierima akal sehat.
"Lagi pula tidak ada tugas seorang Direktur Utama BUMN yang tugasnya mendidik kemandirian Serikat karena keberadaan dan kemandirian Serikat Pekerja sudah jelas diatur dalam Undang-Undang No.21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja juga dalam Perjanjian Kerja Bersama/PKB.
Seharusnya, kata Dwi, tugas utama seorang Direktur Utama Garuda Indonesia harus lebih fokus untuk membuat kebijakan-kebijakan yang strategis untuk kepentingan kemajuan bisnis Korporasi sehingga bisa membuat Perusahaan menjadi untung dan bukan sebaliknya Perusahaan menjadi merugi.
Kuasa Hukum Serikat Karyawan Garuda Indonesia, Tomy Tampatty meminta agar Direktur Utama Garuda Indonesia berhenti membuat opini publik yang tidak sesuai dengan fakta. "Karena faktanya ada pelanggaran Perjanjian Kerja Bersama/PKB dan pelanggaran Undang-Undang.Padahal seharusnya Garuda Indonesia sebagai BUMN harus menjadi role model terciptanya Hubungan Industrial yang harmonis," kata Tomy.
Tomy berharap kondisi Hubungan Industrial yang terjadi di Tubuh Garuda Indonesia ini mendapat perhatian dari Presiden Joko Widodo, Menteri BUMN Erick Thohir, Menteri Tenaga Kerja Ida Farida Idan Komisi VI DPR-RI. "Mengingat ada uang rakyat yang disuntik ke tubuh Garuda Indonesia sebesar Rp 7,5 triliun yang harus diselamatkan dengan cara membangun Hubungan Industrial yang harmonis dan kondusif," kata Tomy.
Pilihan Editor: Profil Irfan Setiaputra, Dirut Garuda yang Ratusan Kali Ingin Mundur dan Kini Dilaporkan ke Mabes Polri