TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom, yang juga Direktur Indonesia Development and Islamic Studies (IDEAS), Yusuf Wibisono merespons rencana proyek kereta ringan atau light rail transit (LRT) di Bali.
Menurut Yusuf, kebutuhan transportasi massal untuk Bali sangat beralasan, terutama untuk kawasan aglomerasi Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan (Sarbagita). Meskipun jumlah penduduk Bali hanya 4 juta jiwa dengan 2 juta jiwa di Sarbagita, tapi menerima sekitar 4 juta wisatawan setiap tahunnya.
“Namun pemilihan LRT sebagai moda transportasi massal menurut saya adalah sebuah kekeliruan,” ujar dia saat dihubungi pada Rabu, 27 September 2023.
Yusuf mengatakan sistem LRT adalah moda transportasi yang mahal dengan kapasitas relatif terbatas jika dibandingkan dengan sistem bus rapid transit (BRT) atau sistem kereta komuter. Sementara Bali memang tidak memiliki rel kereta selama ini, sehingga investasi, baik untuk LRT maupun kereta komuter, relatif akan mahal.
Dia mencontohkan LRT untuk tahap awal antara Bandara Ngurah Rai ke Sentral Parkir Kuta yang hanya 6 kilometer, rute tersebut berpotensi menghabiskan hingga Rp 12 triliun atau Rp 2 triliun per kilometer, karena keterbatasan lahan dan direncanakan dibangun di bawah tanah.
“Pilihan moda transportasi LRT untuk mengatasi kemacetan dan polusi di Sarbagita menurut saya berpotensi besar untuk gagal,” ucap Yusuf. “Karena mahalnya biaya, sulitnya pembiayaan, panjangnya waktu konstruksi LRT hingga terbatasnya daya angkut LRT.”
Pilihan yang lebih realistis dan berkeadilan dalam jangka pendek, menurut Yusuf, melanjutkan dan memperluas sistem BRT Bali yang sudah dirintis sejak 2011, yaitu Trans Sarbagita—kini diperluas dengan Trans Metro Dewata sejak 2020. BRT di Bali selama ini sudah berjalan dengan baik, seharusnya diberikan dukungan yang lebih besar.
Selanjutnya: Salah satunya, kata Yusuf, dengan menambah....