Lalu, kata Faisal Basri, produk tersebut akhirnya dijual atau diekspor ke Indonesia dalam porsi yang jauh lebih rendah, yakni semi-finished products. Sejauh ini, ia menilai tak satu pun pabrik smelter yang berada di Sulawesi telah memproduksi batere untuk kendaraan listrik atau besi baja sebagai finished products. Rel untuk kereta cepat juga masih sepenuhnya diimpor dari Cina.
Dengan demikian, ia meyakini tak ada yang meragukan bahwa smelter nikel menciptakan nilai tambah tinggi. Faisal Basri menegaskan nilai tambah yang mengalir ke perekonomian nasional tak lebih dari sekitar 10 persen.
"Siapa yang menikmati nilai tambah tinggi itu? Tentu saja pihak China yang menikmatinya," tutur Faisal.
Sementara itu, Staf Khusus Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Yustinus Prastowo mengatakan ada pemberian tarif royalti yang berbeda antara pemilik izin usaha pertambangan (IUP) yang hanya memproduksi atau menjual bijih nikel dibandingkan dengan IUP yang sekaligus memiliki smelter.
Hal itu, ujarnya, sesuai Undang-undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Berdasarkan beleid tersebut, Prastowo menuturkan bijih nikel diberikan tarof royalti 10 persen dan tarif untuk Feri Nikel atau Nikel Matte sebesar 2 persen.
"Kebijakan itu sejalan dengan amanat undang-undang bahwa pengelolaan mineral diarahkan untuk mendukung hilirisasi," kata Yustinus saat dihubungi Tempo, Jumat, 11 Agustus 2023.
RIANI SANUSI PUTRI
Pilihan editor: Jawab Bantahan Jokowi, Faisal Basri Beberkan Berbagai Keuntungan Cina dari Hilirisasi Nikel RI