TEMPO.CO, Jakarta - Perencana keuangan, Aidil Akbar Madjid, tidak memungkiri metode pembayaran paylater menjadi tren transaksi belanja saat ini. "Ini model baru dari utang. Tapi tidak ada bedanya dengan utang cicilan, utang kredit, utang konsumtif," kata Aidil kepada Tempo, Minggu, 9 Juli 2023. "Karena utang, ya harus dibayar."
Sebelumnya, riset Kredivo dan Katadata Insigh Center juga menunjukkan bahwa konsumen penggunaan paylater dalam berbelanja online meningkat dari tahun ke tahun. Persentasenya mencapai 6,6 persen pada 2021; 10,2 persen pada 2022; dan 16,2 persen sepanjang 2023 ini.
Persentase pengguna layanan paylatter dalam e-commerce meningkat signifikan. Mulanya sebesar 28,2 persen pada 2022 dan menjadi 45,9 persen pada 2023. Adapun data tersebut berasal dari hasil survei terhaap 9.239 responden yang tersebar di seluruh Indonesia. Survei online tersebut dilaksanakan pada Maret 2023 dan dirilis pada 14 Juni 2023.
Menggunakan paylater atau berutang, lanjut Aidil, sebenarnya sah-sah saja. Namun, dia menyarankan agar utang hanya dilakukan untuk kebutuhan produktif bukan konsumtif. Presentasenya pun tidak lebih dari 30 persen dari penghasilan.
Mengambil utang atau cicilan, juga boleh jika untuk kebutuhan mendesak. Misalnya, ketika harus ganti handphone lantaran sudah 5 tahun dan memori sudah penuh.
"Kalau sudah menganggu pekerjaan, bolehlah ambil cicilan. Tapi kalau punya tabungan cukup, lebih baik beli cash," kata Aidil. "Yang salah adalah ketika utang atau paylater untuk beli handphone karena ada keluaran seri terbaru."
Hal itu pun berlaku pada pinjaman online atau pinjol. Jika tidak berhati-hati, pinjol justru akan membebani diri sendiri. Apalagi jika pinjol digunakan untuk kebutuhan tersier, seperti liburan atau menonton konser.
"Ambil pinjol atau paylater buat nonton konser, buat healing. Iya, refreshing tapi setelah itu stres karena bayar tagihan," tutur Aidil. "Kan bodoh."
Pilihan Editor: FOMO, Pemicu Orang Terjebak Budaya Konsumtif