TEMPO.CO, Jakarta - Bank Dunia alias World Bank menaikkan status Indonesia ke kelompok negara berpendapatan menengah ke atas atau upper middle income country. Ekonom dari Celios Bhima Yudhistira mengungkap dampaknya.
Bhima menyebutkan kenaikan status tersebut didorong oleh pemulihan mobilitas pasca pandemi Covid-19 an kenaikan harga komoditas. Namun, kini harga komoditas kembali turun sehingga dia menilai net ekspornya bisa terkoreksi dan Indonesia berisiko turun menjadi lower middle income country lagi.
"Kedua, kita melihat bahwa banyak kelebihan memang. Kelebihannya adalah credit rating, makanya hari ini diumumkan kan ternyata kita masih dapat triple B dari credit rating agensi, yang dianggap bahwa persepsi dari risiko utangnya itu masih bisa dikelola," kata Bhima saat ditemui di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, Rabu, 5 Juli 2023.
Meski begitu, Bhima menilai kenaikan status tersebut juga memiliki banyak kelemahan. Negara berpendapatan menengah ke bawah itu, kata dia, banyak mendapatkan hibah dari negara maju dan pinjaman dengan bunga yang relatif lebih kecil.
"Tapi begitu kita naik status, dianggap Indonesia sudah mampu mencari pendanaan, implikasinya adalah bunganya akan jauh lebih mahal dan disuruh mencari pendanaan di pasar," ujar Bhima. "Akhinya dominasi SBN (surat berharga negara) itu makin membebani utang dalam jangka panjang."
Selain itu, kelemahan lainnya adalah negara-negara maju, seperti Amerika Serikat memiliki fasilitas perdagangan GSP (Generalized System of Preferences).
Menurut Bhima, sebelumnya Indonesia memiliki banyak barang bahkan mendapatkan fasilitas 0 persen tarif atau bea masuk untuk masuk ke pasar negara maju. Namun ketika status Indonesia naik, ada koreksi sehingga barang Indonesia akan dikeluarkan sebagian besar.
"Karena dianggap Indonesia nggak perlu butuh bantuan untuk masuk ke negara maju dengan 0 persen tarif. Kalau gitu kita naikkan tarifnya jadi 5 persen, kan Indonesia sudah negara berpendapatan menegah atas'," ungkap Bhima.