TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, mengatakan pembangunan ekosistem hilirisasi industri butuh waktu setidaknya 10 hingga 15 tahun. Dalam jangka waktu itu, kata Fahmy, Indonesia bisa mengolah bijih nikel hingga kendaraan listrik.
"Syaratnya, konsisten," kata Fahmy kepada Tempo, Jumat, 30 Juni 2023.
Proses pengolahan bijih nikel hingga menghasilkan kendaraan listrik bukan hanya membutuhkan smelter. Namun, manufaktur yang mengolah hasil hilirisasi menjadi bahan utama baterai. Kemudian baterai ke kendaraan listrik.
"Kalau roadmap sudah jelas, itu bisa ditempuh. Sekali lagi, syaratnya konsisten," kata Fahmy.
Oleh karena itu, pemerintah tidak boleh goyah mesti ada guncangan dari luar. Teranyar misalnya, rekomendasi Dana Moneter Internasional atau IMF agar Indonesia mempertimbangkan penghapusan bertahap kebijakan larangan ekspor bijih nikel, bauksit, dan komoditas lainnya. Atau yang terjadi sebelumnya, yakni gugatan larangan ekspor bijih nikel di World Trade Organization (WTO).
Selain konsisten pada sikapnya untuk mendorong hilirisasi, lanjut Fahmy, pemerintah juga tidak boleh diskriminatif. Karena itu, dia mengkritisi relaksasi atau pemberian izin ekspor konsentrat tembaga PT Freeport. Dia menilai, langkah tersebut bisa menggoyangkan proses hilirisasi.
"Kalau pemerintah beri relaksasi ke Freeport, pengusaha nikel, bauksit, dan yang lain juga bisa menuntut serupa," kata Fahmy. "Kalau semua nuntut dan diizinkan, hilirisasi jadi bubar."
Fahmy mengatakan hilirisasi sumber daya menjadi penting karena memberikan nilai tambah bagi perekonomian Indonesia. Bahkan, kata dia, hilirisasi akan menjadi faktor penentu Indonesia untuk naik tingkat dari negara berkembang menjadi negara maju dan modern.
"Jadi, pertumbuhan ekonominya bakal ditopang sektor manufaktur. Bukan lagi ditopang sektor konsumsi," ujarnya.
Pilihan Editor: Pesawat Asing Berseliweran Layani Domestik, Susi Pudjiastuti: Maskapai Lokal Sangat Dirugikan hingga ..