TEMPO.CO, Jakarta -Untuk mendapatkan sinyal agar bisa berkomunikasi saja, Katarina Andriani, kudu berjalan dan menerima telepon di ladang. Sehingga perempuan berusia 48 tahun itu hanya tertawa saat ditanya apakah produk kain tenun yang ia produksi bisa diperoleh lewat lokapasar?
"Untuk menelpon saja saya harus keluar rumah. Kalau di ladang baru ada sinyal," tutur Katarina, pada Jumat, 30 Juni. Ia punya angan-angan, kain-kain tenun dan beberapa produk turunan lain seperti kaus, berbagai macam tas tenun yang diproduksi anggota kelompok usahanya bisa mudah diakses pembeli dari mana saja. "Sejauh ini orang-orang membeli kalau sudah pernah dan tahu nomor telepon saya jadi memesan langsung," kata dia.
Kain tenun ikat dan produk turunan yang diproduksi kelompok UMKM Usaha Bersama Desa Ensaid Panjang, Kalimantan Barat (dok. Pribadi)
Proses jual beli seperti itu akhirnya membuat para penenun ikat rumah Betang Ensaid Panjang, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat belum bisa menjadikan aktivitas sebagai perajin kain jadi pekerjaan utama. "Sehari-hari kami masih di ladang, bertani. Menenun belum jadi aktivitas utama," tutur dia.
Padahal kalau dilihat dari potensinya, tenun ikat rumah Betang ini sudah dikenal dari sisi kualitas. Produknya sudah beberapa kali dibawa ke luar negeri dipamerkan di beberapa kesempatan serta dibeli para turis yang berkunjung ke rumah Betang yang khas itu.
Kendala sinyal menurut Katarina tak berbanding lurus dengan berbagai pembangunan yang belakangan mulai terjadi di kawasan Kabupaten Sintang. Area tempat rumah Betang Ensaid Panjang berada, sejatinya ada di kawasan hutan. Beberapa tahun terakhir, pembangunan jalan beraspal, serta pemasangan parabola-parabola makin ramai saja. "Ketika pembangunan marak, justru para turis jadi enggan datang. Karena katanya yang alami seperti dulu sudah tidak ada," tutur Katarina.
Menurunnya kedatangan turis tentu saja berpengaruh pada penjualan kain tenun yang masih cukup banyak dibeli langsung saat ada kunjungan wisatwan. "Padahal dulu turis-turis sampai menginap dan melihat, belajar membuat tenun."
Makin pesatnya pengguna internet memang terbukti mendorong Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi digital tercepat di kawasan Asia Tenggara. Pandemi salah satu pemicu akselerasi adopsi teknologi digital tersebut. Sayangnya, menurut ekonom Institute for Development of Economics and Finance, Nailul Huda, pertumbuhan perekonomian digital saat ini hanya dinikmati oleh segelintir orang. “Terutama orang yang mampu mengakses teknologi digital secara penuh,” tutur Nailul. Masih ada kesenjangan digital di Indonesia di antaraya kesenjangan akses, sumber daya manusia, dan penggunaan. Semua kesenjangan dialami banyak penduduk di luar Pulau Jawa.
Dalam sebuah diskusi yang berlangsung pada akhir tahun lalu, direktur utama PT Telkom Indonesia Tbk, Ririek Adriansyah, menyebut infrastruktur yang belum masif jadi tantangan besar. Padahal, berdasarkan data yang ada, pengguna internet Indonesia sudah mencapai 202,6 juta dan jumlah mobile phone sekitar 345 juta, dengan perhitungan satu orang memiliki dua telepon selular. Lalu tiga besar penggunaan internet itu, berasal dari pengguna media sosial, video, dan lokapasar.