Dia melanjutkan, hal yang menarik adalah bukti KPPU yang menyebutkan pelaku usaha telah melakukan perjanjian pengaturan harga. Ternyata, kata dia, adanya pertemuan-pertemuan di asosiasi ditengarai KPPU sebagai bagian dari kesepakatan tersebut.
"Apakah seperti itu hukum persaingan usaha memandang alat bukti? Tidak seperti itu. Undang-Undang Persaingan Usaha tidak melarang untuk berkumpul, untuk bertemu," kata Dhita.
Menurut Dhita, bukti tersebut tidak cukup kuat untuk mengatakan para pelaku usaha melakukan pematokan harga atau price fixing. Dia menilai, harusnya KPPU memiliki bukti uang lebih kuat seperti rekaman, email, dokumen kesepakatan, dan sebagainya.
Selain dituntut dengan Pasal 5 UU 5/1999, pelaku usaha terkait juga dituntut dengan Pasal 19 Huruf C UU 5/1999. Investigator KPPU dalam LDP (Laporan Dugaan Pelanggaran)-nya menyatakan para terlapor secara bersama-sama membatasi peredaran dan/atau penjualan yang mengakibatkan kekurangan pasokan atau bahkan kelangkaan minyak goreng.
Tuntutan tersebut berdasarkan keterangan maupun bukti dokumen purchase order dan delivery order beberapa distributor dan peritel pada 2021 hingga awal 2022 yang menunjukkan penurunan pasokan minyak goreng kemasan.
Namun, kajian Tim LKPU-FHUI menyatakan bukti-bukti tersebut kurang relevan karena sejumlah pelaku usaha yang menjadi terlapor tidak mendistribusikan dan menjual produk minyak goreng kemasan ke ritel modern maupun pasar tradisional.
“Data tren volume produksi dan volume penjualan minyak goreng kemasan periode Januari 2020 sampai Mei 2022 yang disampaikan pelaku usaha juga menunjukan tidak terdapat selisih signifikan antara volume produksi dengan volume penjualan selama periode dugaan pelanggaran. Ini menjadi bukti, terlapor tidak melakukan pembatasan peredaran atau penjualan minyak goreng,” ungkapnya.
Pilihan Editor: Minyakita Masih Langka, KPPU: Produksinya Hanya 24 Persen dari Suplai yang Ditentukan
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini