Hal itu, menurut Perry, disebabkan oleh fragmentasi politik dan ekonomi yang belum usai serta pengetatan kebijakan moneter yang agresif di negara maju. Selain itu, koreksi proyeksi pertumbuhan ekonomi yang cukup besar dan disertai dengan meningkatnya risiko potensi resesi terjadi di Amerika Serikat dan Eropa.
Ditambah lagi dengan penghapusan Kebijakan Nol-Covid (Zero Covid Policy) di Cina, di mana dampaknya bakal menahan perlambatan pertumbuhan ekonomi global.
Tekanan inflasi global mulai berkurang
Menurut Perry, tekanan inflasi global terindikasi mulai berkurang sejalan dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi global.
Meskipun begitu, inflasi global tetap di level tinggi seiring dengan masih tingginya harga energi dan pangan, berlanjutnya gangguan rantai pasokan, dan masih ketatnya pasar tenaga kerja terutama di Amerika Serikat dan Eropa.
Sejalan dengan tekanan inflasi yang melandai, Perry melanjutkan, pengetatan kebijakan moneter di negara maju mendekati titik puncaknya. Hal ini ditandai dengan suku bunga diprediksi masih akan tetap tinggi di sepanjang 2023.
“Ketidakpastian pasar keuangan global juga mulai mereda sehingga berdampak pada meningkatnya aliran modal global ke negara berkembang. Tekanan pelemahan nilai tukar negara berkembang juga berkurang,” tutur Perry.
Baca juga: Potensi Hilirisasi Industri, Bos Kadin: Memacu Pertumbuhan Ekonomi RI
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.