TEMPO.CO, Jakarta -Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Indonesia menyoroti aspek perubahan iklim yang turut disinggung pemerintah sebagai pertimbangan dalam menerbitkan Perpu Cipta Kerja akhir 2022 kemarin. Pengkampanye Hutan dan Kebun Walhi Uli Arta Siagian menilai poin tersebut bertolak belakang dengan karakter Perpu Cipta Kerja yang dinilai berorientasi bisnis.
“Kami sepakat climate change merupakan sesuatu yang urgent. Tapi langkah terbaik untuk menjawab kedaruratan iklim sebenarnya adalah dengan membatalkan UU Cipta Kerja, bukan justru menerbitkan Perpu Cipta Kerja,” kata Uli ketika ditemui Tempo di Kantor Walhi Nasional, Jakarta, Rabu, 4 Januari 2023.
Pasalnya, Uli menilai corak yang terdapat dalam teks UU Cipta Kerja maupun Perpu Cipta Kerja merupakan corak investasi. Sehingga, secara otomatif akan mendorong eksplorasi, eksplitasi, dan ekspansi ke wilayah-wilayah yang memiliki sumber daya alam tinggi. Sementara itu, dalam beleid ini tidak ada pasal yang mengatur soal menjaga luas kawasan hutan—yang sebelumnya ada di UU Kehutanan.
“Ketika meletakkan ekonomi sebagai panglima, maka kontradiktif dengan logika mitigasi perubahan iklim. Ini nggak nyambung dan maksa banget,” ujar Uli.
Adapun sebelumnya, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan pemerintah menerbitkan Perpu Cipta Kerja lantaran ada kebutuhan mendesak. Airlangga mengutarakan pemerintah perlu mempercepat antisipasi terhadap kondisi global baik yang berkaitan dengan ekonomi Indonesia yang tengah menghadapi ancaman resesi, peningkatan inflasi, maupun stagflasi.
Dia juga menyinggung soal kondisi geopolitik, perang Ukraina-Rusia, dan konflik lainnya yang belum selesai. Menurut Ailangga, pemerintah Indonesia menghadapi dampak karena perang itu berimbas ke krisis pangan, energi, keuangan, dan perubahan iklim. Walhasil, Perpu Cipta Kerja kemudian ditandatangani Presiden Joko Widodo alias pada Jumat, 30 Desember 2022.
Jika menyinggung perkara ekonomi, Uli melanjutkan, maka pada akirnya akan berbicara perluasan investasi. Sedangkan hal tersebut, menurutnya akan sulit berjalan seirama dengan mitigasi perubahan iklim.
“Apalagi kalau tidak diikuti instrumen perizinan lingkungan yang baik. Jadinya malah memperburuk situasi iklim,” kata Uli.
Kendati begitu, Uli mengatakan pemerintah bisa menemukan titik temu antara invetasi ekonomi dan mitigasi perubahan iklim. Cara ini bisa dilakukan dengan mengambil kebijakan untuk memperbaiki iklim investasi yang ada. Sebab, kata dia, tidak sedikit investasi di Idnonesia yang berdampak buruk ke lingkungan—bahkan menimbulkan konflik.
Pemerintah juga perlu berkomitmen mengatasi korupsi karena korupsi menjadi salah satu akar buruknya investasi di Tanah Air. Selain itu, pemerintah harus berkomitmen melakukan penegakkan hukum terhadap perusahaan atau pelaku kejahatan lingkungan.
Terakhir, Uli melanjutkan, pemerintah harus serius memperhatikan instrumen lingkungan—khususnya dalam kegiatan investasi. Sebab instrument lingkungan yang amburadul, berantakan, dann lemah, bisa berdampak pada keniscayaan. “Krisis iklim dari investasi juga akan menjadi keniscayaan kalau instrument lingkungannya tidak kuat karena tidak mampu menjangkau aktivitas ekonomi ekstraktif yang sangat eksploitatif,” ungkap Uli.
Adapun salah satu poin yang dia soroti adalah ketentuan soal Analisis Mengenai Dampak Lingkungan atau Amdal. Uli menyebut dalam Perpu Cipta Kerja, Amdal direduksi menjadi dokumen pelengkap untuk izin lingkungan. Perpu Cipta Kerja tidak menekankan kewajiban sebagaiman dalam UU Nomor 32 tahun 2009. Perpu tersebut sekadar menyebut Amdal sebagai dasar uji kelayakann lingkungan Dokumen Amdal merupakan dasar uji kelayakan Lingkungan Hidup untuk rencana usaha dan/atau kegiatan.
“Jadi, proses perizinan memang benar-benar dipermudah,” ucap Uli.
Baca Juga: Sebut Perpu Cipta Kerja Lebih Buruk dari UU Ciptaker, KPSI: Kita Tidak Akan Diam
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.