Data yang dihimpun Ombudsman RI, sampai dengan 6 Desember 2022, stok beras total yang dimiliki oleh Bulog mencapai 503.000 ton di mana sebanyak 61 persen dari stok tersebut merupakan CBP. Pihak Bulog memperkirakan bahwa pada Desember tahun ini masih harus mengeluarkan stok sebanyak 200.000 ton sehingga sisa stok yang ada hanya sekitar 300.000 ton.
Menurut Yeka, apabila melihat data kebutuhan beras nasional dalam sebulan rata-rata mencapai 2,5 juta ton, serta angka stok beras minimum sesuai penugasan kepada Perum Bulog dari Rakortas rata-rata sekitar 1,5 juta ton, maka dengan stok beras yang ada saat ini terdapat gap yang masih perlu dipenuhi oleh Perum Bulog dengan berbagai skema yang bisa dilakukan.
“Proses pemenuhan kekurangan stok beras yang akan dilakukan dihadapkan pada pilihan yang cukup krusial, di mana ketika pilihan dijatuhkan kepada penyerapan dalam negeri, maka akan dihadapkan pada kondisi tingginya harga gabah,” tutur Yeka.
Harga gabah di penggilingan saat ini sudah mencapai Rp6.000-Rp6.300 per kg, dan hal ini akan berdampak pada harga beras di hilir yang idealnya ada pada rentang Rp11.000-Rp12.000/kg.
Sementara Harga Eceran Tertinggi (HET) beras medium adalah Rp9.450 - Rp10.250/kg. Berdasarkan temuan Ombudsman di Provinsi Banten, Bengkulu, Sumatra Barat, Kalimantan Selatan, dan Gorontalo, selama Oktober hingga November 2022, harga gabah terendah yang ditemukan di lima provinsi tersebut adalah Rp 5.150/kg.
“Dengan kondisi harga gabah yang tinggi, Perum Bulog mengalami kesulitan dalam melakukan pengadaan beras dalam negeri karena harga pasar gabah sudah diatas Harga Pembelian Pemerintah,” jelas Yeka.
Selanjutnya, Ombudsman meminta pemerintah untuk memperhatikan kondisi disposal stock dalam pelaksanaan pemenuhan stok beras baik menggunakan skema penyerapan dalam negeri maupun impor.
“Kasus pemusnahan disposal stock pada tahun 2019 untuk stok beras tahun 2016 sebanyak 20.000 ton harus menjadi patokan untuk menetapkan hitungan kebutuhan yang presisi agar tidak terjadi inefisiensi sumber daya dan keuangan,” terang Yeka.
Ombudsman menilai, pemerintah belum efektif dalam membangun kebijakan seputar beras yang terintegrasi dari hulu ke hilir. Menurut Yeka, kebijakan pemerintah yang mencabut captive market dalam program penyaluran beras Perum Bulog dan lambannya pemerintah dalam merevisi Harga Pembelian Pemerintah (HPP) mengakibatkan kinerja pengadaan beras Perum Bulog melorot, dan mempersulit pelaksanaan stabilisasi harga beras.
“Agar kejadian ini tidak berulang di akhir 2023, alangkah patutnya jika pemerintah kembali memikirkan untuk memastikan pengadaan beras program Bantuan Pangan Non Tunai [BPNT] bersumber dari pengadaan beras Perum Bulog,” ujar Yeka.
Menurutnya, dengan ditetapkannya sumber BPNT dari pengadaan beras Perum Bulog, maka stabilisasi harga beras akan mudah untuk dilakukan. Selain itu, penggunaan dana APBN juga akan semakin efisien. Selain itu, Badan Pangan Nasional harus bisa mengintegrasikan penugasan dari hulu ke hilir sehingga Perum Bulog tidak selalu dijadikan kambing hitam dalam pengelolaan CBP.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini