Meski begitu, kata Didik, IMF cenderung telat mengomentari tingginya bunga utang pemerintah itu. "IMF terlambat melihat ini karena sudah lama masalah ini menjadi sasaran kritik ekonom-ekonomi nasional. Tetapi tidak bergeming karena akal sehat pengambil keputusan, parlemen dan pemrintah, tertutup watak dasar budget maximizer tanpa kalkulasi yang memadai," ujar dia.
Sebelumnya, IMF menilai level biaya pinjaman pemerintah Indonesia atau sovereign borrowing costs saat ini terlalu tinggi. Kondisi levelnya pun menurut mereka tidak relevan dengan upaya pengelolaan fiskal pemerintah yang semakin baik.
Berdasarkan data Regional Economic Outlook Asia and Pacific IMF edisi Oktober 2022, Indonesia masuk 3 besar dengan sovereign borrowing costs terbesar bersama Bangladesh dan India. Besarannya untuk local currency yield sekitar 8 persen untuk tenor 10 tahun.
"Ini terlalu tinggi, dan kita inginnya itu lebih rendah lagi," kata IMF Senior Resident Representative untuk Indonesia James Walsh saat berkunjung ke kantor Tempo di Jalan Palmerah Barat, Jakarta Selatan, Selasa, 1 November 2022.
Satu-satunya cara untuk menurunkan biaya bunga utang itu, kata James, adalah dengan menciptakan kebijakan fiskal yang kredibel dalam rentang waktu yang sangat lama. Dalam kurun waktu 10-15 tahun, Indonesia mampu menekan defisit fiskal di level yang rendah.
Adapun defisit fiskal atau defisit APBN Indonesia telah ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara maksimal sebesar 3 persen dari produk domestik bruto (PDB).
"Satu-satunya cara untuk menurunkan biaya suku bunga adalah dengan memiliki kebijakan fiskal yang kredibel dalam jangka waktu yang lama sehingga Indonesia benar telah jauh lebih rendah dari 10-15 tahun yang lalu, tetapi prosesnya selalu lambat," ujar Walsh.
Baca juga: Sering Beri Utang, Apa Beda IMF dengan Bank Dunia?
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.