“Di dalam Perpres ini disebutkan secara jelas bahwa Indonesia tidak akan membangun PLTU yang baru, kecuali ada berapa yang di situ disebutkan. Kecuali yang sudah dalam rencana,” ujar dia dalam konferensi pers virtual pada Jumat, 7 Oktober 2022.
Sehingga, dia melanjutkan, pembangunan PLTU yang sudah ada di dalam proyek strategis nasional, yang memberikan kontribusi strategis besar secara nasional, tetap dilaksanakan. “Di belakangnya juga disebutkan bahwa dalam waktu 10 tahun kompensasi emisi gas rumah kacanya harus turun minimal 35 persen,” tutur Dadan.
Dalam Perpres Nomor 112 Tahun 2022 disebutkan rincian PLTU yang telah ditetapkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) sebelum berlakunya Peraturan Presiden ini. Aturan tersebut termaktub dalam Pasal 3 ayat 4 huruf a. Dalam beleid tersebut, Jokowi mengecualikan pelarangan pengembangan PLTU baru untuk kondisi tertentu.
Pertama, PLTU terintegrasi dengan industri yang dibangun berorientasi untuk peningkatan nilai tambah sumber daya alam, termasuk proyek stratregis nasional (PSN) yang berkontribusi besar terhadap penciptaan lapangan kerja atau pertumbuhan ekonomi nasional.
Kedua, PLTU yang berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca minimal 35 persen dalam jangka waktu 10 tahun sejak pembangkit itu beroperasi. Patokan dasar yang digunakan ialah rata-rata emisi PLTU di Indonesia pada 2021 melalui pengembangan teknologi, carbon offset, dan/atau bauran energi terbarukan. Ketiga, PLTU yang beroperasi paling lama sampai 2050.
Baca juga: Terkini Bisnis: Jokowi Sebut Wajib Bersyukur Ekonomi Tumbuh, Chatib Basri Beberkan Risiko Resesi
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini