Namun, di saat yang sama, tak tersedia gas. Chatib menilai dalam konteks seperti ini bukan tidak mungkin manufaktur di Jerman akan terhambat. Sistem pemanas tersebut, menurut Chatib, akan terganggu, sehingga Jerman mau tidak mau harus beralih ke sumber energi lain yaitu listrik.
“Dan listrik ini, sumbernya berasal dari batu bara ini yang menjelaskan mengapa ketika harga minyak mulai turun, harga CPO mulai turun, harga batu baranya tetap bertahan di sekitar US$ 400,” kata dia.
Dalam konteks ini Indonesia sebetulnya diuntungkan karena merupakan salah satu negara penghasil pengekspor batu bara terbesar. Namun, implikasinya buat Jerman, inflasi di level produsen itu sudah mencapai 46 persen yang tentu akan di-pass on. Dengan kondisi seperti ini maka bunga akan naik, dan jika Jerman masuk dalam resesi maka Uni Eropa akan ikutan.
Sehingga, Chatib mengatakan, semua akan melihat ekonomi global mengalami pelemahan. Akibatnya adalah kebutuhan input untuk energi dan komoditas juga akan mengalami penurunan. Lalu kebutuhan input untuk komoditas dan energi yang menurun itu akan membawa dampak pada ekonomi Indonesia.
Alasannya, karena 60 persen dari ekspor kita itu adalah energi dan komoditas. Jadi secara price ekspor Indonesia akan mengalami penurunan, maka implikasinya adalah mungkin tahun depan, trade surplus tidak akan lagi setinggi tahun ini. “Bahkan bukan tidak mungkin kita mengalami current account defisit walaupun relatif kecil,” tutur Chatib.
Hal itu juga memiliki implikasi kepada exchange street atau pelemahan ekspor dan pelemahan harga komoditas. Dan akan berpengaruh kepada dua hal, ekspor Indonesia dan penerimaan pemerintah. “Nah kalau ekspornya mengalamai penurunan praktis ekonomi Indonesia akan melambat,” ujar Chatib Basri.
Baca juga: Harga Pertamax Naik, Chatib Basri: Pertamina Tetap Nombok
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini