TEMPO.CO, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan atau OJK mencatat 244 iklan lembaga keuangan melanggar aturan pada periode 1 Januari - 31 Maret 2022. Anggota Dewan Komisioner Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK Friderica Widyasari Dewi mengatakan angka tersebut hanya 3,65 persen dari total 6.684 iklan yang ada.
“Pasar modal merupakan sektor yang paling banyak ditemukan iklan yang melanggar,” ujar dia dalam acara OJK Virtual Innovation Day (OVID) 2022, di Wisma Mulia 2, Jakarta Selatan, Senin, 10 Oktober 2022.
Dia menjelaskan iklan pasar modal paling banyak melanggar karena menjanjikan keuntungan atau tingkat return yang tidak masuk akal. Pasalnya, investasi di pasar modal berkaitan dengan masa depan. “Itu banyak yang kita ingatkan kemudian diganti (iklannya),” kata dia.
Baca: OJK Ungkap Satgas Waspada Investasi Blokir Lebih dari 5.300 Pinjol Ilegal
Friderica merincikan pelanggaran iklan di lembaga keuangan lainnya. Seperti di perbankan yang melanggar mencapai 2,63 persen dari 5.544 iklan, lalu IKNB 8,18 persen dari 1.058 iklan, dan pasar modal sebanyak 17,31 persen dari 52 iklan.
Dari segi materi, pelanggaran pada iklan yang melanggar itu terdiri dari 95,90 persen kategori iklan yang tidak jelas, 3,69 persen iklan menyesatkan, dan 0,41 persen merupakan iklan yang tidak akurat.
“Jika iklan dari suatu lembaga jasa keuangan (LJK) yang dinyatakan melanggar ketentuan OJK, maka akan diberikan peringatan tertulis. Apabila masih melakukan pelanggaran pada item yang sama, maka diberikan surat peringatan atau dilakukan proses pemanggilan,” tutur Friderica.
Selain melakukan pemantauan terhadap iklan-iklan itu, OJK juga melakukan pengawasan melalui Satgas Waspada Investasi (SWI). “Kita melihat SWI telah menutup lebih dari 5.300 penawaran investasi dan pinjaman online (pinjol) ilegal (periode 2017-Agustus 2022),” ucap Friderica.
Ada juga penguatan aplikasi portal perlindungan konsumen (APPK) melalui kontak 157, dan pengembangan customer support technology (suptech). Menurut Friderica, suptech tool mampu mengkategorisasi insight, mengindetifikasi, dan menandai dugaan aktivitas ilegal.
“Serta memahami persepsi konsumen dan melakukan segmentasi demografi dari data media online dan media sosial,” ucap Friderica.
Selain melalui SWI, OJK juga melakukan pengawasan prudential yang dilakukan dengan menggunakan teknologi seperti chatbot customer support technology yang baru saja dirilis. Teknologi itu untuk pelayanan pengaduan konsumen yang dirugikan pelaku di lembaga jasa keuangan.
“Dengan tagline Always There, Always Care, OJK dapat mendengar, mengumpulkan, serta menanggapi keluhan konsumen secara lebih cepat, efektif, dan efisien,” kata dia.
Menurut Friderica, chatbot itu merupakan salah satu upaya OJK untuk membangun digital trust system. Tujuannya meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap industri keuangan digital.
“Chatbox, ini menarik banget karena sebagaimana mandat dalam UU OJK di atur bahwa OJK melakukan pelayanan pengaduan konsumen. Salah satunya adalah menyiapkan perangkat yang memadai,” tutur dia.
Baca: OJK Sebut Tingkat Literasi dan Inklusi Keuangan Digital RI Naik Signifikan
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini