TEMPO.CO, Jakarta - Berbagai modus penipuan terus berkembang seiring intensitas belanja online lewat e-commerce dan media sosial belakangan ini. Para penipu tak jarang berpura-pura mengaku sebagai penjual di toko online, marketplace, pembeli, kurir, bahkan petugas Bea dan Cukai dalam menjalankan aksinya.
CMO Ninja Xpress Andi Djoewarsa menyatkan, data Kementerian Komunikasi dan Informatika menyebutkan ada 115.756 kasus aduan penipuan terkait e-commerce dan jualan online di media sosial sepanjang tahun 2021. Sementara itu, data Bea Cukai Indonesia menunjukkan, dari 714 pengaduan per Mei 2022 yang diterima, sebanyak 393 kasus penipuan menggunakan modus online shop.
Tingginya jumlah kasus penipuan belanja online tersebut, menurut Andi, harus direspons dengan mengintensifkan kegiatan edukasi yang membantu masyarakat agar terhindar dari berbagai penipuan yang kerap terjadi saat belanja online. "Sebab ada beberapa modus yang biasanya digunakan oleh penipu," katanya dikutip Sabtu, 27 Agustus 2022.
Lalu, modus apa saja yang sering digunakan untuk menipu?
1. Toko Online Palsu
Salah satu modus yang kerap dipakai adalah toko online palsu. Biasanya, penipu yang berkedok penjual online palsu di marketplace dan media sosial menjual barang dengan harga di bawah pasaran. Dengan begitu, calon pembeli langsung tertarik bertransaksi.
2. Mengaku sebagai Petugas Ekspedisi/Bea Cukai
Sedangkan untuk pembelanjaan antarnegara, penipu tak jarang mengaku sebagai petugas ekspedisi ataupun pihak Bea Cukai yang meminta biaya tambahan. Permintaan biaya tambahan ini untuk mengeluarkan barang yang ditahan oleh otoritas.
3. Phishing
Modus lainnya adalah phishing. Modus ini biasanya mengarahkan pembeli untuk masuk ke situs atau halaman belanja palsu.
4. Meminta Data Pribadi, Password, Kode OTP
Kadang penipu mengirim chat, email atau link yang mengarahkan korban untuk mengisi data pribadi, password atau kode OTP. Selain itu, penipu memberi iming-imingi korban dengan hadiah tetapi dengan meminta informasi personal yang sensitif," ujar Andi.