Persoalan skala produksi ini menurutnya signifikan karena hanya sebagian wilayah di Nusa Tenggara atau di Indonesia bagian Timur yang bisa ditanami sorgum. Sementara di wilayah lainnya, masyarakat lebih tertarik menanam beras karena faktor stabilitas harga.
Selain masalah lahan, menurut Bhima, jika pemerintah ingin membuat food estate sorgum seharusnya memperbaiki terlebih dahulu food estate yang sudah ada sekarang. Sebab, banyak food estate yang masih belum baik dari segi on farm maupun off farm-nya, juga pada saat pengerjaan maupun saat pengolahan pascapanen.
Ia berharap pemerintah dapat memperbaiki dulu food estate yang sudah ada sekarang, baru membahas soal komoditas lainnya. Sehingga anggaran untuk proyek tersebut tidak terbuang percuma. Apalagi jika pemerintah ingin menjawab krisis pangan, perlu dipikirkan jangka waktu proyek ini membuahkan hasil.
"Ternyata proyeknya masih 10-20 tahun lagi berhasilnya, padahal krisis pangannya terjadi sekarang," tuturnya.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo atau Jokowi memerintahkan jajarannya untuk mencetak lahan sorgum hingga 154 hektare sampai 2024 nanti. Merespons permintaan itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto pun mengaku hingga bulan Juni 2022 realisasi luas tanam sorgum sudah mencapai 4.355 hektare dan tersebar di enam provinsi.
Luas tanam sorgum memiliki perkiraan produksi sebesar 15.243 ton atau dengan produktivitas 3,63 ton per hektare. Luasan tersebut akan dipersiapkan oleh Kementerian Pertanian dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
“Arahan Bapak Presiden seluruhnya perlu dipersiapkan agar kita punya substitusi dan diversifikasi dari produk tersebut,” ujar Airlangga.
Baca: Setahun Ambil Alih Blok Rokan dari Chevron, Pertamina Mengebor 376 Sumur Baru
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.