TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar memberikan sinyal memperpanjang kembali masa relaksasi kredit perbankan. Namun, ke depan, restrukturisasi kredit ini hanya diberikan untuk sektor usaha tertentu.
Mahendra menjelaskan, restrukturisasi kredit awalnya merupakan salah satu langkah pemerintah untuk mengantisipasi dampak pandemi Covid-9 terhadap dunia usaha. Namun saat ini sektor usaha atau industri tertentu masih menghadapi risiko serupa, yakni stagflasi global.
"Jadi ini bukan semata hanya terkait dengan krisis pandemi yang insya Allah kondisi terberatnya bertahap kita lalui, namun juga dalam konteks menjaga risiko dampak stagflasi global," kata Mahendra saat konferensi pers hasil rapat berkala KSSK di Jakarta, Senin, 1 Agustus 2022.
Mahendra menjelaskan, setelah pagebluk mereda, penerima manfaat restrukturisasi kredit, baik dilihat dari sisi jumlah maupun nilai debiturnya, terus menurun. Begitu juga dengan kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) dari kredit yang direstrukturisasi, trennya terus membaik.
"Sedangkan rasio CKPN (Cadangan Kerugian Penurunan Nilai) yang diperuntukan bagi restrustrukturisasi sebaliknya terus meningkat. Jadi kapasitas di perbankan untuk melakukan hal itu terus membaik," ucap mantan Wakil Menteri Luar Negeri itu.
Berdasarkan masing-masing sektor ekonomi, kata dia, sebagian besar penerima insentif sudah berada jauh di bawah proporsi ambang batas untuk menentukan butuh tidaknya sebuat entitas melanjutkan restrukturisasi kredit. Ambang batas itu sebesar 20 persen.
"Penurunan yang tajam itu terjadi untuk sektor perdangangan, manufaktur, konstruksi, bahkan transportasi, komunikasi, dan pertanian, maupun sektor lainnya," ucap Mahendra.
Kendati begitu, karena kondisi perekonomian gelobal saat ini masih dipengaruhi risiko stagflasi, Mahendra melihat masih ada beberapa sektor kredit yang memerlukan program relaksasi. Sektor itu adalah akomodasi serta makanan dan minuman.
"Jadi ini yang sorotan bagaimana melihat kondisi di sektor tadi itu terutama juga dalam rangka memitigasi risiko dampak stagflasi global. Ini yang masih terus kami dalami kajiannya dan risikonya," tutur Mahendra.
Jika nanti program restrukturisasi diputuskan untuk kembali diperpanjang, fokus utama OJK adalah sektor-sektor yang telah ditargetkan. Dengan demikian, skema pemberian restrukturisasi kredit pun berbeda dengan program sebelumnya.
"Jadi betul-betul yang dibutuhkan, dalam konteks ini adalah fokus pada targeted sector. Jadi beda dengan saat awal atau puncak dari krisis pandemi di mana restrukturisasi kredit yang dilakukan berlaku untuk seluruh sektor," kata dia.
Rapat Dewan Komisioner OJK pada 2 September 2021 sebelumnya memutuskan untuk memperpanjang masa relaksasi kredit perbankan selama satu tahun dari 31 Maret 2022 menjadi 31 Maret 2023. Perpanjangan restrukturisasi kredit ini juga berlaku bagi BPR dan BPRS.
Baca juga: Inflasi Tahunan Juli 4,94 Persen, BPS: Andil Terbesar dari Makanan, Minuman dan Tembakau
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.