Budi Karya menyebut apabila tingkat okupansi bisa menyentuh level maksimal, maskapai penerbangan bisa tetap eksis di tengah tekanan harga avtur dan berbagai kondisi lain. Kemudian, dengan okupansi menyentuh level maksimal maka diharapkan tarif penerbangan bisa lebih terjangkau.
Selain itu, Kementerian masih akan mengevaluasi soal kebijakan tuslah yang bertujuan untuk menyesuaikan dengan kondisi harga avtur yang melambung tinggi. Sebab pada Lebaran lalu, Kementerian Perhubungan mengizinkan maskapai untuk melakukan penyesuaian biaya pada angkutan udara penumpang dalam negeri menyusul kenaikan harga minyak dan avtur dunia.
Ketentuan ini tertuang dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 68 Tahun 2022 tentang Biaya Tambahan (Fuel Surcharge) Tarif Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri yang mulai berlaku sejak ditetapkan pada 18 April 2022.
“Jika kenaikannya mempengaruhi biaya operasi penerbangan hingga 10 persen lebih, maka pemerintah dapat mengizinkan maskapai penerbangan untuk menetapkan biaya tambahan seperti fuel surcharge,” kata Juru Bicara Kementerian Perhubungan Adita Irawati pada 19 April lalu, dalam keterangan tertulis.
Besaran biaya tambahan (fuel surcharge) dibedakan berdasarkan pada pesawat jenis jet dan propeler. Untuk pesawat udara jenis jet, maskapai dapat menerapkan maksimal 10 persen dari tarif batas atas sesuai kelompok pelayanan masing-masing badan usaha angkutan udara.
Sedangkan untuk pesawat udara jenis propeler, maskapai dapat menerapkan maksimal 20 persen dari tarif batas atas sesuai kelompok pelayanan masing-masing Badan Usaha Angkutan Udara. Ketentuan ini akan dievaluasi setiap tiga bulan atau apabila terjadi perubahan yang signifikan terhadap biaya operasi penerbangan.
EKA YUDHA SAPUTRA | MUTIA YUANTISYA | BISNIS
Baca: Luhut Teken Surat, Audit Perusahaan Sawit Resmi Dimulai
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.