"Ini sangat menyengat dan memiliki bau seperti jamur yang terlalu matang. Ini sangat tidak enak,” kata Neil Blomquist, chief commercial officer untuk Natural Habitats (Rotterdam, Belanda), pemasok minyak sawit organik dari Ekuador dan Afrika Barat.
Dia mengatakan perusahaan telah mencoba memperkenalkan minyak sawit mentah ke pasar, tetapi tidak berhasil karena rasanya tidak enak, dan sulit digunakan untuk memasak.
Selain itu, CPO mengandung asam lemak bebas (FFA), uap air, jejak logam, dan pengotor lainnya yang membatasi umur simpannya. Akibatnya, sebagian besar CPO dimurnikan untuk menghilangkan bau, rasa, dan kotoran, serta warna merah yang menurut banyak konsumen tidak menggugah selera.
Sementara itu, minyak sawit yang dimurnikan, diputihkan, dan dihilangkan baunya atau refined, bleached, deodorized (RBD) palm olein adalah minyak sawit yang hambar, tidak berbau, berwarna kuning muda, dan semipadat pada suhu kamar. RBD palm olein menjadikannya pengganti yang ideal sebagai bahan baku minyak goreng atau minyak terhidrogenasi parsial dalam banyak produk makanan ringan dan makanan yang dipanggang.
Sebelum atau sesudah pemurnian, minyak sawit dapat difraksinasi menjadi olein sawit (fraksi cair: 70–80 persen minyak sawit) dan stearin sawit (fraksi padat: 20–30 persen). RBD palm olein biasanya digunakan sebagai minyak goreng atau minyak goreng, sedangkan palm stearin dapat ditemukan dalam mentega dan pengganti mentega.
Minyak goreng sawit sekarang merupakan minyak nabati yang paling banyak digunakan di dunia. Minyak goreng sawit menjadi komponen utama makanan mulai dari makanan yang dipanggang, saus salad, hingga es krim CPO merupakan salah satu komoditas ekspor utama asal Indoensia.
Merujuk pada data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), total produksi CPO hingga Februari 2022 mencapai 8,06 juta ton.