TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah pernah membuat kajian untuk mengeruk andesit sebagai bahan baku Bendungan Bener di Kecamatan Loano setelah masyarakat Wadas menolak rencana pertambangan lavastone di kampungnya.
Dinukil dari dokumen Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) pada 2020, nilai paket kajian itu mencapai Rp 1,9 miliar.
Kepala Satuan Kerja Non-Vertikal Tertentu (SNVT) Pelaksanaan Jaringan Pemanfaatan Air (PJPA) BBWS Serayu Opak Andi Arwik membenarkan informasi tersebut dalam jawaban tertulis kepada Tempo, Januari lalu.
“Penyelidikan calon lokasi cadangan material batu dilakukan pada tahapan desain bendungan tidak hanya pada satu lokasi, tapi secara bertahap mulai dari lokasi yang terdekat,” ujar Andi seperti jawaban tertulisnya.
Adapun studi tersebut meliputi analisis dampak lingkungan dan land resetlement action plan (larap). Studi berlangsung di tiga desa yang mencakup Desa Guyangan, Desa Kemijing, dan Desa Banyuasin.
Namun rencana menggeser lahan pertambangan dari Wadas ke Kecamatan Loano batal. Menurut hasil penelitian, Andi mengklaim cadangan material batu di Loano hanya 7 juta meter kubik. Sedangkan kebutuhan total untuk membangun Bendungan Bener ialah 16,9 juta meter kubik.
Jumlah total kebutuhan andesit dua kali lipat lebih banyak dari perhitungan kebutuhan riil pembangunan bendungan yang sebesar 8,4 juta meter kubik. Total kebutuhan material batuan hitam untuk pembangunan Bendungan Bener, tutur Andi, bisa dicukupi dengan cadangan di Wadas. Dalam studi amdal Bendungan Bener, Wadas memiliki potensi cadangan andesit 40 juta meter kubiki.
Selain masalah cadangan, Andi menyebut jarak Kecamatan Loano lebih jauh ketimbang Bendungan Bener. “Jaraknya 17 kilometer dari maindam dan tidak ada jalan yang menghubungkan lokasi quarry tersebut ke tapak bendungan. Sehingga, perlu biaya yang lebih besar,” kata Arwik.