Kenapa? Karena saat itu harga sahamnya anjlok ke Rp 250. Padahal, saat itu laba usaha per saham Rp 7.800. Kendalanya, saat itu, saham yang dibelinya mandeg di Rp 400 dan tidak naik-naik lagi,
Pak Hong kemudian mengambil untung setelah memegang saham UNTR selama enam tahun, dan menjualnya pada 2004, di harga Rp 15 ribu.
“Ini juga masih awam, karena kan duit saya kecil kemudian jadi tiba-tiba jadi banyak. Saya mikir kalau duit saya hilang gimana, jadi saya jual,” ujarnya.
Jos menambahkan, menurutnya krisis tak bisa diprediksi. Apalagi, biasanya datang ketika pasar sedang naik. “Yang namanya krisis atau market crash, tidak pernah terjadi ketika semua lagi tenang. Pasti semua lagi happy, lagi make money, lagi enak-enaknya, bohong kalau mau distop. Makanya, yang penting itu bukan prediksi market crash, tapi bagaimana ketika market crash kita bisa berpikir kepala dingin, bisa berfikir rasional, manfaatkan peluang yang ada, karena bakal banyak ‘Mercy yang dijual dengan harga bajaj’,” ujarnya.
Lo Kheng Hong juga mengungkapkan, “yesterday is history, tomorrow is mistery”. Krisis datang tidak ada yang tahu, baik 1998, 2008, dan 2020. Tapi, untuk antisipasi, Hong menghindari tidak mau berutang.
“Saya mending dorong uang saya 99 persen dibeliin saham, saya berani, tapi jangan suruh saya tambah utang. Karena ketika krisis datang saya nggak akan bisa bertahan. Kalau saya nggak berutang krisis sedalam apa pun saya bisa bertahan, saya pegang terus sahamnya, saya akan menunggu dia kembali naik lebih tinggi,” ujar Lo Kheng Hong.
Baca juga: Cerita Lo Kheng Hong Setop Kerja di Usia 37 Tahun untuk Jadi Full Investor Saham
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.