Dengan demikian, Prastowo mengatakan meskipun tarif direlaksasi, namun tetap cukup tinggi mengingat situasi pandemi yang memberatkan keuangan wajib pajak. "Jika hendak adil, kita harus jujur fasilitas yang ditawarkan PPS tidak semenarik UU Pengampunan Pajak," kata Prastowo.
Adapun program yang akan dimulai pada 2022 oleh pemerintah didasari oleh berbagai pertimbangan, antara lain Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu telah memiliki akses terhadap informasi, sehingga punya kesempatan untuk melakukan penelusuran kebenaran laporan WP.
Maka, menurut dia, cukup pasti hanya mereka yang sungguh-sungguh ingin jujur terbuka dan patuh yang mau ikut program ini. Di sisi lain, ia membenarkan bahwa UU ini mengatur tentang perlindungan data dan informasi yang diungkap, hal yang sama diatur di UU Pengampunan Pajak.
"Apakah ini lantas meniadakan kewenangan melakukan tindak lanjut hukum? Tidak! Tidak ada impunitas dan imunitas karena yang dilindungi sebatas data dan informasi yang diungkap oleh WP dalam PPS ini," ujar Prastowo.
Kebijakan itu, kata dia, adalah hal yang standar dan amat wajar agar mencerminkan kepercayaan dan tidak dianggap ada jebakan. Jika terdapat data/informasi lain di luar pengungkapan ini, maka tetap dapat dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
"Kiranya penjelasan ini cukup mendudukkan diskursus tentang UU HPP secara proporsional. Kritik, aspirasi, dan masukan dari semua pihak tentu amat penting bagi perbaikan dan kebaikan bersama," kata Prastowo.
Baca: OJK Tanggapi Fatwa MUI yang Haramkan Pinjaman Online Mengandung Riba
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.