TEMPO.CO, Jakarta - Sederet penyelewengan dalam penyaluran solar bersubsidi masih terus terjadi. Praktik ini tidak sesuai dengan ketentuan penyaluran yang sudah diatur Presiden Joko Widodo atau Jokowi lewat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014.
"Salah satunya melayani pengisian atau transaksi di atas 200 liter," kata Sekretaris Perusahaan PT Pertamina Patra Niaga, Sub Holding Commercial and Trading, Irto Ginting, saat dihubungi di Jakarta, Rabu, 20 Oktober 2021.
Praktik ini tidak sejalan dengan aturan pelaksana dari Perpres, yaitu Surat Keputusan Kepala BPH Migas No. 04/P3JBT/BPH Migas/KOM/2020. Lewat beleid ini kendaraan bermotor umum angkutan orang atau barang roda 6 atau lebih hanya bisa menerima paling banyak 200 liter per hari per kendaraan.
Sementara, kendaraan bermotor perseorangan roda empat paling banyak dapat solar bersubsidi 60 liter per hari per kendaraan. Lalu, kendaraan bermotor umum angkutan orang atau barang roda 4 paling banyak 80 liter per hari per kendaraan.
Temuan ini disampaikan Irto di tengah kelangkaan solar saat ini di sejumlah daerah, akibat kekurangan pasokan. Contohnya, kelangkaan terjadi di daerah Gresik, Jawa Timur, yang membuat nelayan tak bisa melaut.
Selain itu, kelangkaan juga terjadi dilaporkan terjadi di Riau, hingga Sumatera Utara. Di Sumatera Utara, bahkan tak hanya solar bersubsidi yang langka, tapi juga pertalite.
Penyelewengan lainnya yang ditemukan oleh Pertamina adalah pengisian solar bersubsidi dengan jeriken tanpa surat rekomendasi. Lalu, pengisian ke kendaraan modifikasi, sampai penyelewengan pencatatan atau administrasi.
Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas) juga memantau masalah kelangkaan solar bersubsidi ini di sejumlah daerah. Salah satu yang jadi sorotan adalah kendaraan logistik di daerah tambang dan perkebunan sawit.