Pasalnya, harga properti di beberapa kota seperti Shenzen, Shanghai, dan Beijing masih terbilang tinggi sepanjang tahun 2021 ini. Namun developer properti yang notabene hidup dari pre-sales dan menggantungkan utang jumbo untuk membangun unit, terpaksa menggelar diskon buat mempertahankan minat konsumen.
Hal ini yang kemudian akhirnya menekan profit dan memperburuk rating perusahaan dalam melunasi utang sebelumnya. Akibat lainnya adalah perekonomian nasional Cina akan melambat karena sektor properti yang menyumbang 25 persen dari PDB.
Bank sentral Cina yang sudah berhitung kemudian menyuntikkan US$18,6 miliar ke sistem perbankan, sehingga perusahaan terkait yang terkena dampak masih bisa memperoleh likuiditas. Akibat dari sikap preventif otoritas tersebut yang tak membuat dampak kasus ini tak meluas.
"Efeknya buat Indonesia justru bagus. Pertama, 'bisul' mereka sudah pecah duluan sehingga Cina punya sektor properti yang sustain," ucap Winston. Selain itu, sebagai salah satu negara pengimpor natural resources dari Indonesia, demand dari Cina bisa terus bertambah dengan sehat.
Winston mengungkap fenomena keberanian China untuk berkorban demi stabilitas ini pun berpotensi membuka mata investor dunia bahwa risiko ketidakpastian berkaitan regulasi di China begitu signifikan. Alhasil bisa sedikit mengubah capital flow dari investor ke negara lain.
Selain itu, kata dia, akibat kasus Evergrande ini, investor di sektor terkait teknologi mulai berhati-hati ke Cina. "Sehingga kalau porsi capital flow ke Cina menyusut, syukur-syukur sebagian masuk ke Indonesia, karena kita lihat beberapa waktu belakangan India sudah mulai menikmati," tutur Winston.
BISNIS
Baca: Siang Ini, Risma Jelaskan Isu 9 Juta Orang Miskin Tak Lagi Terima Subsidi BPJS