Penetapan SKB baru itu menggunakan landasan hukum yang sama dengan SKB I dan II yang mulai berlaku di 2020 yaitu Undang-Undang (UU) No. 2/2020, UU Bank Indonesia, UU mengenai Surat Utang Negara, dan UU mengenai Surat Berharga Syariah Negara.
Sementara itu, Sri Mulyani juga menegaskan bahwa defisit APBN Indonesia 2020 sebesar 6,1 dari terhadap PDB relatif masih lebih sederhana dibandingkan dengan negara-negara lain. Ia mencontohkan negara seperti India yang mengalami defisit sebesar 12,3 persen, Cina defisit 11,4 persen, Jepang, 12,6 persen, Inggris 13,4 persen, dan Amerika Serikat (AS) 15,8 persen, terhadap PDB masing-masing negara.
Sedangkan defisit APBN di Indonesia, seperti halnya di negara lain, memicu kenaikan rasio utang di 2020. Rasio utang Indonesia naik 9,2 persen secara tahunan (year-on-year/yoy) menjadi 39,4 persen, dibandingkan dengan 2019. Meski begitu, angka tersebut dinilai masih relatif lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara lain.
Sri Mulyani lalu mencontohkan India memiliki kenaikan rasio utang sebesar 15,7 persen (yoy) menjadi 89,6 persen di 2020; Cina naik 9,8 persen (yoy) menjadi 66,8 persen; Jepang naik 21,4 persen (yoy) menjadi 256,2 persen; Inggris naik 18,4 persen (yoy) menjadi 103,7 persen; AS naik 18,9 persen (yoy) menjadi 127,1 persen.
"Indonesia yang naik 9,2 persen dan rasio utangnya 39,4 persen, maka kita masih termasuk dalam kategori negara yang berhati-hati dan pruden dalam mengelola APBN," kata Sri Mulyani. "Bahkan dalam situasi shock yang luar biasa."
BISNIS
Baca: China Sonangol Bantah Klaim Surya Paloh di Kisruh Pembangunan Gedung Ini