Alih-alih menyerap stok vaksin berbayar, dalam situasi ini muncullah inisiatif untuk menyalurkan vaksin gotong royong melalui program vaksin bagi individu. Vaksin individu dilaksanakan oleh Kimia Farma. Aturan yang memayungi vaksin individu itu digodok sejak 26 Juni dan diundangkan pada 6 Juli. Aturan ini berbentuk Permenkes Nomor 19 Tahun 2021 yang merupakan perubahan kedua atas Permenkes Nomor 10 Tahun 2021.
Dalam ketentuan itu ditetapkan harga dan margin vaksin berbayar. Sesuai dengan hitung-hitungannya, biaya maksimal pembelian vaksin ialah Rp 321.660 per dosis. Sedangkan biaya maksimal pelayanan Rp 117.910 per dosis. Adapun untuk biaya paket lengkap dua suntikan Rp 879.140.
Dengan demikian, margin penyediaan vaksin ialah 20 persen dan margin fasilitas penyuntikan 15 persen. Bila dikalkulasi, margin total per paket untuk dua kali suntikan ialah Rp 164.037 (berasal dari jumlah Rp 128.664 untuk margin vaksin ditambah Rp 35.373 untuk margin jasa). Maka, dengan target 15 juta orang untuk dua kali penyuntikan, total margin yang didapat adalah Rp 2,46 triliun.
Ia pun menyarankan pemerintah menyetop pelaksanaan program vaksin berbayar untuk mencegah praktik rente. Pemerintah bisa bertanggung jawab mengambil alih stok vaksin di Kimia Farma dan BUMN farmasi lainnya jika perusahaan pelat merah sudah kadung memesannya.
“Jika PT Kimia Farma (Tbk) dan BUMN farmasi lainnya sudah terlanjur pesan atau beli vaksin, pemerintah mengambil alih tanggung jawab karena pada awalnya BUMN farmasi hanya menjalankan penugasan pemerintah, sedangkan kebijakan pemerintah sudah berubah, maka rencana harus direvisi,” ujar dia.
Ia melanjutkan, saat ini lebih baik pemerintah segera mengoreksi hal-hal yang salah. “Jika dibiarkan (vaksin berbayar) akan menimbulkan rangkaian kesalahan yang semakin panjang yang kian menjauh dari rasa keadilan,” kata Faisal.
Baca Juga: Indonesia Impor 121,9 Juta Dosis Vaksin Covid-19 dari Cina, Ini Rinciannya