Upaya penyelamatan Garuda juga mesti melihat dari kepentingan politiknya. Dalam hal ini, kredibilitas pemerintah akan disoroti. Apalagi, Garuda merupakan perusahaan terbuka yang telah melantai di Bursa Efek Indonesia.
“Jadi soal likuidasi ini punya konsekuensi karena Garuda perusahaan Tbk. Artinya, sahamnya dimiliki swasta juga, dijual di bursa efek secara terbuka,” ujar Alvin.
Adapun pengamat penerbangan dari CommunicAvia, Gerry Soejatman, memandang biaya untuk membuat maskapai baru memang lebih murah. Kendati begitu, upaya ini tak menjamin kondisi keuangan perusahaan serta-merta membaik.
“Kalau hanya bikin perusahaan baru dengan semuanya masih sama tidak akan berguna juga,” ujar Gerry.
Ia mencontohkan maskapai luar negeri, seperti Malaysia Airlines, yang dilikuidasi oleh Malaysia Airlines Berhad atau MAB dari semula Malaysia Airlines (MAS). Maskapai itu, kata Gerry, tetap menghadapi masalah serupa meski telah melakukan restrukturisasi menyeluruh meski beban utang dihitung dari nol.
Sedangkan soal Swiss Air dan Sabena, seperti yang disebut-sebut dalam studi pembanding pemerintah, Gerry menyatakan kedua perusahaan itu tidak mendirikan maskapai baru. Perusahaan hanya mengoper maskapai lama ke grup. “Seperti Garuda ditutup dan dioper ke Citilink,” katanya.
Saat melakukan aksi perusahaan, kendali maskapai penerbangan itu pun tak lagi di bawah pemerintah. “Sabena diganti Brussels Airlines. Brussels Airlines dan Swiss, sekarang dua-duanya adalah milik Lufthansa,” ujar Gerry.
Baca: Pertamina Digugat Rp 2,6 T di PN Jakarta Pusat, Ada Apa?