TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Badan Usaha Milik Negara atau BUMN menyiapkan empat opsi penyelamatan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. yang tengah terlilit utang hingga Rp 70 triliun. Opsi-opsi itu mengacu pada studi banding yang dilakukan pemerintah dengan negara-negara lain.
Berdasarkan paparan Kementerian BUMN yang telah disampaikan kepada Dewan Direksi Garuda Indonesia, salah satu opsi itu memungkinkan perusahaan melakukan restrukturisasi dengan mendirikan perusahaan maskapai nasional baru.
Maskapai anyar tersebut diproyeksikan bakal mengambil alih sebagian besar rute domestik Garuda dan menjadi penerbangan nasional di pasar lokal. Cara yang sama pernah dilakukan Belgia untuk Sabena Airlines dan Swiss untuk Swiss Air.
Dalam kondisi likuiditas yang tertekan, mungkinkah Garuda Indonesia membentuk maskapai baru seperti preseden maskapai internasional lain sebelumnya?
Pengamat penerbangan, Alvin Lie, mengatakan, opsi penyelamatan Garuda sepenuhnya merupakan domain pemerintah. Namun bila dilihat dari sisi asetnya, upaya perusahaan untuk membangun maskapai baru dinilai lebih murah.
“Untuk mengembangkan arilines baru, secara bisnis murni lebih murah membangun baru daripada mempertahankan Garuda,” ujar Alvin saat dihubungi, Jumat, 27 Mei 2021.
Apalagi, menurut Alvin, berdasarkan hitung-hitungan akuntansinya, Garuda sudah terhitung pailit karena jumlah utangnya jauh lebih besar ketimbang aset yang dimiliki. Kendati begitu, lantaran statusnya merupakan maskapai nasional, opsi-opsi penyelamatan Garuda tak hanya bisa mempertimbangkan kepentingan bisnis.