Perkara akses, ujar Dzulfian, menjadi masalah utama yang menjadi musabab sepinya bandara tersebut. Pasalnya, masyarakat Bandung saat ini merasa lebih mudah dan murah untuk terbang dari Bandara Soekarno-Hatta, ketimbang dari Kertajati. Menurut dia, permasalahan Bandara Kertajati adalah refleksi dari pembangunan tanpa perencanaan yang matang.
"Ini jangan sampai mega proyek seperti kereta cepat bernasib seperti Kertajati, sudah habis triliunan rupiah dan itu pendanaannya melalui utang tapi tidak dipergunakan sebagaimana mestinya, bahkan akan mangkrak," ujar dia. "Padahal utang sudah menjadi beban negara, baik saat ini, maupun akan datang."
Sumber Tempo yang mengetahui perencanaan proyek itu mengatakan dalam evaluasi atas seluruh aspek proyek tersebut ditemukan pembengkakan biaya alias cost overrun yang mencapai 23 persen dari nilai awal yang besarnya mencapai 23 persen dari nilai awal yang besarnya US$ 6,071 miliar.
"Hitungan ini masih bergerak karena harus dikonfirmasi lagi," kata dia kepada Tempo, Senin, 22 Maret 2021. Cost overrun muncul, menurut dia, salah satunya karena ada beberapa perhitungan dalam studi kelayakan kereta cepat yang tidak akurat.
BACA: 2 Syarat Bantuan Pemerintah Efektif Selama Pandemi Menurut Indef
CAESAR AKBAR