Keempat, penyebab defisit dalam penyelenggaraan dana pensiun adalah komposisi peserta pensiunan yang jauh lebih besar dari peserta aktif. Kondisi itu menyebabkan dana yang harus dibayarkan (cash out) lebih besar dari dana yang diperoleh (cash in).
Kelima, terjadinya kontraksi pasar atau instrumen pasar modal. Faktor tersebut dinilai cukup memengaruhi terjadinya defisit karena menyebabkan selisih penilaian investasi (SPI) menjadi negatif.
Kondisi defisit di antaranya terjadi dalam pengelolaan program Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pensiun (JP) di Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. Selisih antara aset dan liabilitas itu terjadi sejak 2019.
Berdasarkan laporan keuangan BPJS Ketenagakerjaan audited, nilai aset program JHT dan JP selalu berada di atas liabilitasnya. Misalnya, pada 2016 aset JHT lebih besar Rp3,19 triliun dari liabilitasnya dan aset JP lebih besar Rp40 miliar.
Kondisi itu terus terjadi sampai 2018, hingga pada 2019 nilai liabilitas program JHT dan JP melebihi asetnya. Pada 2019, total aset JHT sebesar Rp318,3 triliun sedangkan liabilitasnya Rp328,6 triliun, terdapat selisih Rp10,3 triliun.
Selisih lebih besar terjadi di program JP, yakni pada 2019 nilai aset Rp60,14 triliun menghadapi liabilitas Rp126,8 triliun atau terpaut jarak Rp66,6 triliun. Padahal, pada tahun sebelumnya aset senilai Rp40,4 triliun menghadapi liabilitas Rp40,34 triliun, terdapat lebih Rp65 miliar.