Namun vaksin yang dikembangkan dengan teknologi messenger ribonucleic acid (RNA) ini membutuhkan penyimpanan khusus dengan suhu di bawah -70 derajat Celsius. Syarat ini menjadi tantangan imunisasi bagi negara-negara di Asia dan Afrika yang memiliki suhu tinggi serta infrastruktur yang belum memadai.
Pemerintah Korea Selatan masih menunggu hasil uji klinis BioNTech dan Pfizer. Pejabat di Badan Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Korea Selatan, Kwon Jun-wook, menyatakan mereka berencana meninjau rantai pasok vaksin secara menyeluruh setelah prosesnya selesai. Berdasarkan studi pada 2018, hanya seperempat dari 2.200 klinik swasta di negara tersebut memiliki lemari es medis.
Di Jepang, kesiapan distribusi vaksin masih menjadi pertanyaan meski telah meneken kesepakatan 120 juta dosis vaksin dari BioNTech dan Pfizer. Manajer Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit Internasional St Luke Tokyo, Fumie Sakamoto, menyatakan fasilitas penyimpanan vaksin akan menjadi tantangan utama.
"Rumah sakit di Jepang biasanya tidak memiliki freezer ultra-dingin. Tapi saya pikir ini saatnya kita mulai memikirkan logistik untuk vaksin," katanya.
Pemerintah Indonesia menyatakan belum mempertimbangkan membeli vaksin dari Pfizer. Kesepakatan pengadaan vaksin justru dijalin dengan perusahaan Cina, Sinovac.
Pakar epidemiologi dari Universitas Airlangga, Windhu Purnomo, menyatakan pemerintah perlu menguji secara tuntas jika berencana membeli vaksin Pfizer. Meski telah diklaim memiliki kemanjuran 90 persen, data keamanan vaksin belum diketahui. Selain itu, pemerintah perlu memastikan pengujian dilakukan pada populasi yang sama dengan penduduk Indonesia.
Baca: Efektivitas Vaksin Pfizer Diklaim 90 Persen, Airlangga: Belum Masuk Pertimbangan RI
VINDRY FLORENTIN | REUTERS | VOA| AP