Undang-undang yang sebelumnya sudah terbit antara lain Revisi Undang-undang KPK yang dinilai melemahkan Komisi Antirasuah, Revisi UU Minerba yang menjadi karpet merah bagi pengusaha batubara, serta Revisi UU Mahkamah Konstitusi.
"Presiden bilang kalau tidak puas dengan Omnibus Law bawa saja ke MK, tapi sebelumnya MK itu UU-nya direvisi. Bukan penguatan atau perbaikan MK, semata-mata menjamin jabatan hakim konstitusi itu tidak diotak-atik sampai usia 70 tahun. Lalu sekarang jadi tiga kali masa jabatan. Silakan intrepretasi ini kenapa waktunya hampir bersamaan," ujar Faisal.
Belum lagi dengan disahkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2020 menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020, yang menurut Faisal, juga mengandung substansi yang ada di Omnibus Law mengenai perpajakan.
"Sebelumnya juga sudah masukkan ke Perpu, pasal 5 ayat 1 dan 2. Tarif pajak badan diturunkan dari 25 persen ke 22 persen lalu 2022 diturunkan jadi 20 persen. Lalu dikasih diskon 3 persen untuk PT yang go public dan sahamnya 40 persen dijual ke publik. Ini satu kesatuan," ujar Faisal.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan UU Cipta Kerja dirancang untuk menjawab persoalan penciptaan lapangan kerja. Data mencatat, ada sekitar 6,9 juta pengangguran dan 3,5 juta pekerja terdampak Pandemi Covid-19.
Selain itu, setiap tahun ada 2,92 juta penduduk usia kerja baru yang masuk ke pasar kerja. "Sehingga kebutuhan atas lapangan kerja baru sangat mendesak," kata Airlangga. Bukan hanya untuk pekerja, UU Cipta Kerja juga juga disusun agar pelaku usaha kecil menengah dapat lebih mudah mengurus perizinan.
Baca: Faisal Basri Sebut RI Lebih Kaya dari Nepal, tapi Kalah Jumlah Tes Corona