TEMPO.CO, Jakarta – Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia atau PHRI mengalami pukulan kedua setelah kasus virus corona atau Covid-19 di dalam negeri terus menanjak. Ketua Umum PHRI Haryadi Sukamdani mengatakan pengusaha sempat menghirup napas segar saat akhir pekan panjang Agustus lalu, namun kini kembali merugi akibat tingginya penyebaran penyakit.
“Kemarin long weekend dua kali, di beberapa daerah menunjukkan perbaikan. Tapi selesai itu, okupansi kembali drop, apalagi kasus positif corona naik,” ujar Haryadi saat dihubungi pada Rabu, 9 September 2020.
Data penambahan kasus positif Covid-19 per 9 September 2020 tercatat sebanyak 3.307 orang. Dengan penambahan itu, angka kumulatif pasien positif di Indonesia mencapai 203.342 orang.
Kurva penyebaran virus yang sama sekali belum menunjukkan gejala melandai, tutur Haryadi, membuat masyarakat urung bepergian. Padahal pada bulan-bulan lalu, ketika penambahan kasus belum terlampau signifikan, minat perjalanan diakui mulai tumbuh.
Haryadi menjelaskan, santernya penyebaran Covid-19 membuat industri pariwisata sulit menyusun rencana ke depan. Musababnya, pengusaha menghadapi ketidakpastian.
Walhasil, sejumlah pengusaha hotel menerapkan mekanisme buka-tutup untuk tetap bertahan di masa pandemi. Dia mencatat, total hotel di lokasi wisata seperti Bali, yang menjalankan operasi penuh hanya sekitar 10 persen. Sedangkan sisanya menghentikan operasional sementara.
Haryadi menduga kondisi ini masih akan berlangsung sampai akhir 2020. “Apalagi kasus corona kita sudah tembus 200 ribu. Pemerintah juga dilema mau PSBB lagi atau mau terus seperti ini,” tuturnya.
Dalam kondisi sulit, Haryadi mengatakan stimulus yang telah disusun oleh pemerintah tak efektif mendorong pengusaha untuk bangkit di masa pandemi. Musababnya, pengusaha terbebani oleh sejumlah syarat yang merugikan.
Dia mencontohkan adanya relaksasi iuran BPJS Ketenagerjaan. Insentif itu mensyaratkan korporasi penerimanya tidak menunggak iuran hingga periode yang ditentukan. Haryadi memandang aturan ini tidak memungkinkan bagi pengusaha terdampak untuk memperoleh keringanan.
Ada juga aturan penerima bantuan modal kerja yang dipandang sulit dijangkau. Salah satu poinnya mengharuskan perusahaan memiliki pekerja minimal 300 orang. “Padahal pada saat-saat seperti ini kan perusahaan sedang meminimalkan pekerjanya,” tuturnya.