Sehingga, kata dia, revisi beleid tersebut memungkinkan pemerintah memperluas obyek pengenaan bea meterai ke dokumen elektronik yang sebelumnya tak kena. Potensi penerimaan dari pengenaan bea meterai pada dokumen elektronik adalah sebesar Rp 5 triliun.
"Namun, dengan kenaikan batas dokumen menjadi Rp 5 juta akan ada short karena di bawah Rp 5 juta bukan menjadi dokumen objek lagi. Misal tagihan telepon di bawah Rp 5 juta, tagihan listrik di bawah Rp 5 juta, kita ada juga kehilangan di situ. Tapi spiritnya kan keberpihakan ke masyarakat yang enggak kena, yang di bawah Rp 5 juta. Sementara yang baru itu dokumen-dokumen elektronik," ujar Arif.
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat menyelesaikan pembicaraan tingkat satu Revisi Undang-undang Bea Meterai. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan salah satu isi dari beleid tersebut antara lain menyesuaikan tarif meterai menjadi tarif tunggal Rp 10 ribu, dari sebelumnya Rp 3 ribu dan Rp 6 ribu.
"Tarif tersebut selama 34 tahun tidak pernah ada penyesuaian, sehingga ini kami melakukan penyesuaian. Namun, kami juga tahu bahwa untuk usaha masyarakat yang dalam situasi Covid-19 ini, maka pemberlakuannya baru 1 Januari 2021," ujar Sri Mulyani seusai rapat bersama Komisi Keuangan DPR.
Sebagai sikap keberpihakan kepada masyarakat pun, kata dia, pemerintah menyesuaikan batas bawah nilai dokumen yang dikenakan bea meterai, dari mulanya Rp 1 juta menjadi Rp 5 juta. Dengan demikian, dokumen bernilai di bawah Rp 5 juta tidak akan dikenakan bea meterai.