Namun sejumlah anggota DPR menolak keras permintaan Freeport tersebut. Politikus dari Fraksi Partai Golkar Rudy Mas'ud, misalnya, menolak keras permintaan PT Freeport Indonesia itu. Ia meminta sejumlah alasan teknis seperti adanya pandemi Covid-19, perizinan, dijadikan alasan hambatan. "Ujung-ujungnya tak terwujud," katanya.
Rudy juga menyoroti bahwa permintaan PT Freeport Indonesia soal kelonggaran waktu penyelesaian kewajiban membangun smelter. "Apalagi diminta ditunda, gak gentlemen sekali. Ini perjanjian tidak hanya dengan Freeport, tapi multilateral, banyak negara," ucapnya.
Menurut Rudy, penundaan penyelesaian pembangunan smelter hingga jangka panjang akan menimbulkan banyak dampak negatif terhadap lingkungan hidup juga sosial. "Tidak hanya di Papua, tapi juga di Gresik," ujarnya.
Hal senada disampaikan politikus dari Partai Nasdem Rico Sia menilai penundaan pembangunan smelter tidak bisa diundur ke 2024 karena akan sangat merugikan Indonesia. "Apalagi ada pinjaman yang begitu besar," katanya.
Rico juga tak bisa menerima pernyataan Freeport bahwa pembangunan smelter merupakan investasi yang rugi. "Ini berita bohong, menyesatkan masyarakat," ujarnya. "Karena yang namanya investasi memang harus keluar modal di awal, baru akhirnya ada keuntungan," ucapnya.
Akibat penolakan dari sejumlah anggota Komisi Energi DPR itu, lantas rapat diskors oleh pimpinan rapat Eddy Soeparno. Setelah skors rapat dicabut, ia menutup rapat dengan PT Freeport Indonesia dan mengagendakan rapat terpisah dengan perusahaan tersebut untuk membahas proyek smelter.
ANTARA | IHSAN RELIUBUN | RR ARIYANI
Baca juga: DPR Tolak Keras Permintaan Freeport Tunda Target Penyelesaian Smelter jadi 2024