Oleh karena itu, Mauldy menekankan, para investor dalam memilih produk reksa dana dan manajer investasi untuk selalu menghindari iming-iming imbal hasil pasti (fix return). Pasalnya, setiap investasi di pasar saham tidak mungkin dapat menjamin imbal hasil dalam jangka waktu tertentu.
Mauldy pun memberi tips memilih produk investasi dengan membandingkan return yang diberikan oleh deposito. “Alat ukurnya deposito saja. Kalau ada yang menjamin imbal hasil 2 kali lipat deposito, itu sudah tidak mungkin,” tuturnya.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Analis Efek Indonesia (AAEI) Edwin Sebayang menambahkan bahwa imbal hasil pasti hanya bisa didapat dari penempatan dana di tabungan dan investasi di surat utang. Dari dua produk tersebut, masyarakat bisa mendapatkan bunga atau kupon secara berkala.
"Tapi untuk reksa dana, manajer investasi menawarkan fix rate, itu nanti semacam ponzi scheme yang masuk di awal masih dapat tapi lama-lama kalau tidak kuat mereka (MI) bisa jebol,” ujar Edwin.
Setelah investor menentukan pilihan investasi di produk reksa dana dari manajer investasi tertentu, langkah selanjutnya yang dapat dilakukan adalah dengan mencermati perkembangan underlying asset yang menyusun produk reksa dana tersebut.
Saat ini, manajer investasi telah diwajibkan untuk mengungkap 10 besar kepemilikan efek di dalam fund fact sheet reksa dana. Dengan demikian, investor dapat secara berkala mengecek performa saham yang menjadi aset dasar penyusun produk reksa dananya.
Dari sepenglihatannya, kata Edwin, sejumlah produk reksa dana yang hancur itu berisi saham yang tidak jelas fundamentalnya. "Tidak jelas fundamentalnya, tidak likuid, dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Ketika ada redemption, tidak bisa dijual di pasar."
BISNIS
Baca juga: Lebih dari Rp 8 Triliun Dana Masyarakat Diinvestasikan via Bareksa