TEMPO.CO, Jakarta - Bekas Menteri Keuangan Chatib Basri mengatakan Indonesia bisa mengambil kebijakan mencetak uang untuk membiayai anggaran pemerintah di tengah wabah Virus Corona alias COVID-19. Namun, kebijakan itu hanya bisa diambil dalam jumlah terbatas.
"Ruangnya ada tapi tidak bisa terus menerus dan jumlahnya tidak bisa terlalu signifikan seperti di Amerika Serikat," ujar Chatib dalam diskusi daring, Selasa, 21 April 2020.
Ia mengatakan bank sentral AS, The Fed, bisa melakukan cetak uang dan membeli surat utang pemerintah sebanyak apa pun. Sebab, dolar selama ini dipegang oleh seluruh dunia, sehingga risiko inflasinya hampir tidak ada.
Kondisi itu berbeda dengan Indonesia. Menurut Chatib, saat ini produksi di Tanah Air sedang turun dengan adanya pandemi, sehingga menurunkan sisi suplai. Apabila Bank Indonesia mencetak uang, sisi permintaan akan naik. Dalam kondisi suplai turun dan permintaan naik, inflasi akan melambung.
"Karena itu, walau di Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang) ada, pemerintah dan BI hati-hati sekali dalam melakukan ini," kata dia.
Usulan mencetak uang sebelumnya pernah muncul dari Mantan Menteri Perdagangan Gita Wirjawan. Ia mengatakan pemerintah setidaknya menyiapkan Rp 1.600 triliun untuk memulihkan kondisi kesehatan, ekonomi, dan sosial akibat wabah Virus Corona alias COVID-19 dalam enam bulan ke depan.
Untuk memenuhi biaya tersebut, ia mengusulkan Bank Indonesia untuk melakukan pelonggaran kuantitatif alias mencetak uang untuk mengguyur masyarakat. "Ujung-ujungnya, ini duitnya dari mana? Mau gak mau harus dicetak, itu solusi dari saya," ujar Gita kepada Tempo, Rabu, 15 April 2020.
BI, menurut dia, punya dua pilihan yaitu dengan mengeruk cadangan devisa atau mencetak uang dan membeli surat utang negara di pasar primer. Pilihan pertama dinilai berisiko menimbulkan fluktuasi, apalagi terhadap sentimen pasar. "Paling mudah adalah mencetak"
Gita menyadari bahwa kebijakan mencetak uang itu bukanlah kebijakan yang disukai. Namun, ia melihat itu adalah satu-satunya langkah yang bisa dilakukan di tengah kondisi perekonomian dalam dan luar negeri yang lesu akibat pagebluk. "Kita mencari uang dari pasar domestik tipis, di pasar internasional juga tipis," ujarnya.
Menurutnya, Indonesia cukup beruntung dengan berhasil menerbitkan surat utang global US$ 4,3 miliar beberapa waktu lalu. Namun, ia tak yakin langkah yang sama bisa dilakukan lagi, apalagi dengan nominal yang lebih besar. Di tambah, ada risiko bunga yang kini sudah meningkat. Untuk itu, mencetak uang dinilai sebagai langkah yang paling mungkin dilakukan demi kepentingan nasional.