TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi menerbitkan Peraturan Perintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Virus Corona, kemarin, 31 Maret 2020. Pasal 27 Perpu itu menunjukkan bahwa lembaga keuangan berpotensi kebal hukum lantaran tidak bisa dituntut, baik secara pidana maupun perdata.
Adapun lembaga keuangan yang dimaksud adalah seluruh anggota dan sekretaris Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan. Kemudian, pihak Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, Lembaga Penjamin Simpanan dan pejabat lainnya yang termasuk di dalamnya.
"Yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan," tulis pasal tersebut.
Masih dalam pasal yang sama, Perpu ini berbunyi biaya yang telah dikeluarkan pemerintah dan atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara tidak dapat dihitung sebagai kerugian negara. Sebab, anggaran yang dikeluarkan merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis.
Kebijakan yang dimaksud meliputi kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, dan kebijakan pembiayaan. Selanjutnya, kebijakan stabilitas sistem keuangan dan program pemulihan ekonomi nasional.
Adapun dalam akhir bunyi pasal itu ditekankan bahwa tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Perpu ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata-usaha negara.
Pengamat ekonomi Indef, Bima Yudhistira, menilai bunyi pasal dalam Perpu itu membahayakan. Sebab, menurut dia, selain kebal hukum, pemerintah terkesan otoriter.
"Semacam cara berkelit kebijakan tidak dapat dipidanakan. Pemerintah dalam Perpu ini terkesan otoriter dan kebal hukum. Berbahaya," ujarnya dalam pesan pendek kepada Tempo, Rabu, 1 April 2020.
Bima lalu menilai pasal ini akan berpotensi menimbulkan korupsi uang negara dalam jumlah yang tak sedikit lantaran pasal itu merestui adanya penggunaan anggaran penyelamatan yang tak akan dihitung sebagai kerugian. Ia khawatir ke depan, beleid ini justru akan menjadi pengantar bagi tragedi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia jilid II.
"Apalagi nilai stimulus secara total mencapai Rp 405 triliun. Jelas itu uang pajak rakyat dan utang yang ujungnya menjadi beban APBN. Bagaimana mungkin jika terjadi penyalahgunaan tidak disebut kerugian negara?" katanya Bima.