TEMPO.CO, Jakarta - Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil meminta pemerintah pusat menyertakan daerah dalam pembahasan soal rancangan undang-undang Ominibus Law, yang draftnya baru saja diserahkan pemerintah pada DPR. “Tolong Omnibus Law jangan hanya jadi domain pemerintah pusat, karena kita di daerah harus mengamankan. Naon artina, kumaha bentuknya, apa konsekwensinya,” kata dia di Bandung, Senin, 17 Februari 2020.
Ridwan Kamil mengatakan, permintaan itu diklaimnya diluluskan. Pekan depan, dijadwalkan akan digelar pertemuan antara dirinya beserta seluruh bupati/walikota di Jawa Barat dengan Menteri Hukum dan HAM bersama Menteri Dalam Negeri khusus membahas Omnibus Law.
“Akan ada rapat di Tanggal 27 Februari, Menteri Hukum dan HAM bersama Pak Tito, Menteri Dalam Negeri, akan hadir. Kita hadirkan seluruh kepala daerah, di dalamnya akan ada pembahasan Omnibus Law dan relevan isinya terhadap perda-perda yang di anggap harus di sinkronkan terhadap Omnibus Law, apakah dihapus, disempurnakan, itu akan dibahas. Aspirasi kita didengarkan,” kata Ridwan Kamil.
Ridwan Kamil mengatakan, ada dua isu yang jadi sorotan daerah terkait Omnibus Law. “Dua masalah, yakni tata ruang, dan perizinan. Kalau dua itu bisa menjadikan lebih buat, buat Omnibus Law kita ngebut,” kata dia.
Ridwan Kamil enggan mengomentari lebih lanjut. Alasannya dia masih belum mendapat penjelasan rincinya. “Per hari ini, karena bendanya belum jelas, saya mau menghitung apa terhadap data,” kata dia.
Kepala Biro Hukum dan HAM, Sekretariat Daerah Jawa Barat Eni Rohyani mengatakan, isu terkait peraturan daerah menjadi perhatian pemerintah provinsi dalam Omnibus Law. “Kita ingin kaji secara lebih mendalam supaya tidak ada yang disalahkan. Omnibus Law itu tujuannya baik, tapi cara-caranya juga harsu baik. Asas-asas hukumnya juga harus diterapkan, jangan dibolak-balik,” kata dia, di Bandung, Senin, 17 Februari 2020.
Eni mengatakan, pemerintah provinsi saat ini tengah menginventaris Perda Jawa Barat yang diperkirakan bakal terimbas Omnibus Law. Diantaranya terkait dengan tata ruang, ketenagakerjaan, hingga lingkungan. “Karena Omnibus Law ini bukan hanya investasi, ada ketenagakerjaan, lingkungan. Yang sering disorot itu lingkungan, kita akan lihat sejauh mana,” kata dia.
Soal Perda terkait lingkungan misalnya, pemerintah provinsi memiliki Perda yang mengatur pemberian rekomendasi izin mendirikan bangunan untuk Kawasan Bandung Utara (KBU). “Untuk daerah-daerah tertentu, seperti KBU, kita sudah punya Perdanya. Dan maksudnya memang untuk konsevasi, pengendalian, kalau itu harus di buka, kan tidak sama dengan tujuannnya. Makanya akan kita lihat,” kata Eni.
Kepala Badan Pendapatan Daerah Jawa Barat, Hening Widiatmoko mengatakan, ada kekhawatiran imbas tidak langsung dari Omnibus Law yang dikhawatirkan akan berimbas pada pendapatan daerah. “Misalnya Undang-Undang Ketenagakerjaan dan peraturan-peraturan terkait dengan ketenagakerjaan itu digabung, lalu ada efek, mohon maaf, negatif, ada peluang berpengaruh pada daya beli, dan bisa saja terjadi pengurangan jumlah pegawai melalui PHK, kami khawatirkan ada pengurangan kemampuan dari sisi membeli kendaraan dan kemampuan membayar pajak kendaraan tahunan,” kata dia, di Bandung, Senin, 17 Februari 2020.
Hening mengatakan, Omnibus Law berpeluang memberi dampak negatif terhadap sektor ketenagakerjaan yang berimbas pada daya beli. Dia mencontohkan, perubahan status ketenagakerjaan dari pekerja tetap, menjadi pekerja kontrak misalnya otomatis akan mengurangi daya beli. “Ada efek-efek dari sisi ketenagakerjaan yang berimbas pada pendapatan,” kata dia.
Efek berantai ini, dikhawatirkan menggerus pendapatan daerah pemerintah provinsi yang mayoritas mengandalkan pajak kendaraan. “Kami berharap, mudah-mudahan Omnibus Law punya kajian yang sangat mendalam agar kekhawatiran dari sisi ketenagakerjaan tidak berimbas pada pendapatan,” kata Hening.