Tempo.Co, Jakarta - Direktur Indonesian Mining Watch Budi Santoso mengatakan akhir-akhir ini pengelolaan sumber daya mineral dan batu bara semakin jauh dari harapan yang telah digariskan oleh pendiri bangsa. Pragmatisme dan visi yang sempit, kata dia, telah menunjukkan pengelolaan sumber daya mineral dan batu bara tidak memperhatikan konsepsi dan filosofis yang benar.
"Pemerintah berani melakukan tindakan yang normatif cacat konsep dan cacat logika, seharusnya melaksanakan terlebih dahulu yang diamanatkan oleh UU no 4 tahun 2009 bukan malah berimprovisasi untuk memenuhi hasrat pragmatismenya yang terkesan hanya untuk memenuhi keinginan kelompok pengusaha besar," kata Budi dalam keterangan tertulis, Ahad, 26 Januari 2020.
Dia melihat hal itu cenderung mempertontonkan kondisi konflik kepentingan yang semakin terang benderang. Pemerintah, menurut dia, seharusnya menetapkan kebijakan mineral dan batu bara nasional terlebih dahulu seperti yang diamanahkan dalam pasal 6 ayat 1a UU No:4 2009. Dia menilai 10 tahun usia UU tersebut tidak pernah disinggung.
"Ini menurut saya salah satu kegagalan dalam pelaksanaan UU. Perubahan PP 23 sampai 5 kali dan hampir yang ke 6 menunjukkan pelaksanaan UU cenderung reaktif dan hanya mengikuti “kehendak” kelompok tertentu," ujarnya.
Dan akhir-akhir ini pemerintah malah melakukan hal yang sama, yaitu mendesak disetujuinya PP daripada menyelesaikan Omnibus Law dan Perubahan UU no;4 2009. Kecacatan normative itu, kata dia akan menyebabkan kecacatan kebijakan yang lainnya.
Oleh sebab itu Indonesian Mining Watch (IMW) dan CIRUSS merekomendasikan Pemerintah sejumlah hal. Pertama adalah menuntaskan dan menetapkan Kebijakan Nasional Mineral dan Batubara sebelum melakukan perubahan terhadap Undang-undang Minerba dan peraturan yang berkaitan.
Kedua, mineral dan batu bara harus dikembalikan lagi dalam kategori Vital dan strategis sehingga dalam pengelolaannya tidak hanya sekedar komoditi dagang biasa dan sebagai modal awal dan tidak terbarukan, maka pengurasan yang berlebihan harus dihindari karena kebutuhan akan energi dan mineral tidak akan pernah berkurang.
"Ketiga, PKP2B harus dikembalikan sebagai WPN dan dikelola oleh BUMN dan pemerintah jangan memaksakan dengan argumentasi yang lemah baik dengan alasan penerimaan negara maupun kepastian investasi," ujar Budi.
Keempat, pemerintah sebaiknya menyiapkan BUMN khusus untuk pengelolaan ex PKP2B daripada sibuk untuk memaksakan RPP23 yang cacat konsep. Kegagalan PT. Koba Tin dan Tanitoharum menunjukan Pemerintah lalai terhadap kewajiban UU. "Kelalaian tersebut sudah diakui dengan mencabut kembali status Tanito Harum dan hal ini akan menampar pemerintah sendiri apabila pencabutan tersebut dibatalkan," kata dia.
Kelima, program nilai tambah untuk mineral harus diberi ruang di bawah Perindustrian atau ESDM karena keekonomiannya bisa berbeda-beda. Terutama, kata Budi, untuk perusahaan pengolahan dan pemurnian yang independen, karena tingkat keekonomiannya bisa meningkat apabila dikaitkan dengan industri hilirnya.