Kala itu, Jiwasraya mencatatkan surplus Rp 1,6 triliun karena adanya upaya penyehatan keuangan melalui mekanisme financial reinsurance (FinRe). Jika upaya yang bersifat sementara itu tidak dilakukan, perseroan akan mencatatkan defisit Rp 5,2 triliun.
Setahun sebelum OJK melakukan pengawasan, Jiwasraya telah menawarkan produk saving plan atau JS Plan yang menjanjikan return 9–13 persen selama kurun 2013–2018. Selama masa pengawasan OJK, perolehan premi produk tersebut terus meningkat.
Pada 2012, saat pertama kali dipasarkan, Jiwasraya meraup premi JS Plan hingga Rp 820 miliar. Jumlahnya terus meningkat, hingga puncaknya pada 2017 mencapai Rp 16,54 triliun atau 75,3 persen dari total premi senilai Rp 21,91 triliun.
Di titik puncak tersebut mulai ditemukan kejanggalan saat nilai cadangan Jiwasraya lebih rendah dari seharusnya (understated) setelah auditor independen melakukan audit terhadap Jiwasraya. Alhasil, laba perseroan per 31 Desember 2017 dikoreksi dari mulanya Rp 2,4 triliun menjadi Rp 428 miliar.
Menurut Sekar, kala itu OJK telah mengingatkan Jiwasraya untuk mengevaluasi produk saving plan dan menyesuaikan guaranteed return sesuai dengan kemampuan pengelolaan investasi perusahaan. OJK telah mengendus adanya potensi masalah dari produk tersebut. "Dalam hal Jiwasraya akan menghentikan seluruh produk saving plan, maka perlu memperhatikan kondisi likuiditas perusahaan," ujarnya.
Sejak awal 2018, OJK meminta Jiwasraya untuk menyampaikan Rencana Penyehatan Keuangan (RPK) yang memuat langkah-langkah penanganan masalah. RPK itu ditandatangani direksi dan komisaris perseroan, memperoleh persetujuan dari Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), kemudian disampaikan kepada OJK.
Namun, upaya tersebut belum berbuah hasil, hingga puncaknya pada Oktober 2018 Jiwasraya mengumumkan tidak mampu membayar klaim jatuh tempo senilai Rp 802 miliar. Sejak itu, tata kelola perusahaan, pengelolaan manajemen risiko, dan koordinasi Jiwasraya menjadi poin pengawasan utama otoritas.
"Terhadap RPK yang telah disampaikan pada OJK, saat ini OJK melakukan pemantauan secara intensif melalui laporan realisasi RPK yang disampaikan Jiwasraya secara bulanan dan pertemuan rutin dengan manajemen Jiwasraya," ujar Sekar.
Kini masalah di tubuh Jiwasraya tersebut menyebabkan kerugian negara hingga Rp 13,7 triliun per Agustus 2019. Jaksa Agung Sanitiar (ST) Burhanuddin menilai bahwa hal tersebut terjadi karena adanya pengelolaan dana yang melanggar prinsip tata kelola. "Ini baru perkiraan awal. Diduga (nilai aslinya) akan lebih dari itu," ujar Burhanuddin, Rabu lalu, 18 Desember 2019 di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta.
BISNIS