TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat asuransi Irvan Rahardjo menilai Otoritas Jasa Keuangan kecolongan dalam mengawasi PT Asuransi Jiwasraya. Dua hal yang luput dalam pengawasan otoritas itu adalah terkait produk JS Plan dan pendalaman pasar.
OJK diduga lalai karena memperbolehkan penjualan produk saving plan dengan fixed return. Hal tersebut sebetulnya tak hanya terjadi dalam kasus Jiwasraya, tetapi terhadap hampir seluruh pelaku asuransi.
"Produk saving plan berbunga tetap dan di atas rata-rata seharusnya sudah menjadi indikasi kebijakan produk yang tidak prudent," ujar Irvan, Kamis, 19 Desember 2019.
Selain itu, otoritas pun dinilai gagal dalam melakukan pendalaman pasar sehingga instrumen pasar yang ada menimbulkan crowding out. Walhasil, dalam situasi tersebut para emiten, bond issuer, perbankan, dan asuransi berebut likuiditas dengan tingkat persaingan tidak sehat.
Irvan pun menilai bahwa Kementerian Keuangan lalai karena turut menjadi pemburu likuiditas di pasar melalui Surat Berharga Negara (SBN), sukuk, dan Surat Utang Negara (SUN). Mudah diduga bahwa SBN akan menjadi pemenang dari instrumen-instrumen lain karena tingginya return.
Hal-hal tersebut, yang menurut Irvan, menyebabkan industri perbankan, asuransi, dan pasar modal, baik secara masing-masing maupun berkoalisi, menciptakan produk dengan janji imbal hasil tinggi. Bahkan hingga mencapai tingkat tidak masuk akal.
"Boleh jadi JS Plan adalah korban dari efek crowding out, sehingga menjanjikan produk dengan return tinggi. Pada akhirnya berujung default," ujar Irvan.
Seperti diketahui, masalah gagal bayar PT Asuransi Jiwasraya (Persero) yang terus membengkak, dari Rp 802 miliar pada Oktober 2018 menjadi Rp 12,4 triliun pada akhir 2019.
Soal tudingan lalai itu, Juru Bicara Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Sekar Putih Djarot menjelaskan bahwa pihaknya telah melakukan pengawasan terhadap Jiwasraya sejak Januari 2013. Hal itu dilakukan mulai saat peralihan fungsi pengawasan dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK).