TEMPO.CO, Medan - Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Sumatera Utara mencatat, hingga Jumat 13 Desember 2019, sebanyak 27.070 ekor babi di Sumut mati akibat virus hog cholera atau kolera babi. Kematian ternak babi ini berlangsung sangat cepat, dalam satu hari angka kematian yang terlapor rata-rata 1.000—2.000 ekor.
"Ini data yang kami terima dari DKPP [Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan]," kata Kepala Balai Veteriner Medan Agustia, di Medan, Jumat 13 Desember 2019.
Balai Veteriner yakin masih ada warga yang tidak melaporkan kematian babinya karena faktor jarak atau lokasi dan menguburnya secara swadaya. "Sebanyak 16 kabupaten/kota itu memang kantong ternak babi atau populasi babi di Sumut," kata Agustia.
Angka kematian itu sudah dilaporkan ke Direktur Kesehatan Hewan dan Dirjen Peternakan setelah dilakukan analisis menyeluruh dari beberapa komponen, yakni hasil uji lab terdapat reaksi terhadap African Swine Fever (ASF). Selanjutnya dilakukan kajian secara epidemologi, terkait dengan mulai kapan terjadi, berapa yang mati dan sakit, dan terkait pola dan penyebarannya.
"Untuk menyatakan apakah kematian babi di Sumut diakibatkan ASF, keputusannya ada di Jakarta. Declare atas penyebab kematian babi di Sumut dampaknya besar dan tidak bisa dilakukan secara serta merta dikeluarkan," ujar Agustia.
Sebelumnya, akibat banyak ternak babi yang mati terjangkit flu babi dan kemudian dibuang di sungai, warga Medan jadi enggan mengonsumsi ikan. Dampaknya, harga daging ayam dan telur di kawasan itu meroket.
BISNIS | MEI LEANDHA