“Kenaikan iuran itu tidak menyelesaikan problem terkait BPJS. Banyak rumah sakit yang menjadi tidak sehat finansialnya karena problem BPJS itu,” ujar Heroe.
Heroe menilai, seharusnya saat kebijakan kenaikan iuran dijalankan dibarengi langkah kongkret perbaikan pengelolaan BPJS. Khususnya dalam pengelolaan pembayaran di rumah sakit.
Oleh karena itu, Heroe menyarankan adanya perbaikan sistem tarif di rumah sakit. “Dengan sistem pembayaran yang ada sekarang mendorong rumah sakit menurunkan kelasnya, yang artinya menurunkan kualitas layanannya agar memperoleh pasien,” ujarnya.
Heroe juga mendorong masyarakat sendiri yang bisa memilih rumah sakit dan dokter yang diinginkan. Agar mendorong rumah sakit dan dokter terdorong meningkatkan layanannya. “Saat ini banyak kepala daerah yang merasakan beban pembayaran BPJS akan menjadi beban yang semakin berat bagi daerah,” ujarnya.
Dalam beleid Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan mengatur, besaran iuran untuk peserta Pekerja Penerima Upah (PPU) baik ASN, TNI-Polri, pegawai BUMN, dan karyawan swasta yaitu 5 persen dari upah per bulan. Dengan batas maksimal upah sebesar Rp 12 juta.
Ketentuan 5 persen tersebut yakni 4 persen dibayarkan oleh pemberi kerja, dan 1 persen dibayarkan oleh peserta melalui pemotongan gaji. Ketentuan besaran iuran BPJS Kesehatan untuk peserta PPU ASN, TNI-Polri, pegawai BUMN, mulai berlaku per 1 Oktober 2019. Sementara untuk PPU dari badan usaha swasta mulai berlaku per 1 Januari 2020.