TEMPO.CO, Solo - Keputusan pemerintah resmi menaikkan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan untuk seluruh segmen ditanggapi beragam oleh sejumlah pihak. Salah satu suara yang pesimistis datang dari ekonomi dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Lukman Hakim.
Lukman menilai seharusnya kenaikan iuran tersebut tidak bisa hanya berdasarkan upaya pemerintah dalam menambal defisit BPJS Kesehatan semata. "Sebab tarif murah saja banyak yang menunggak, apalagi jika dinaikkan," katanya, Rabu, 30 Oktober 2019.
Yang jauh lebih penting, menurut Lukman, adalah penentuan tarif harus menggunakan analisis ability to pay dan willingness to pay. "Harus membandingkan antara kemampuan bayar dengan kemauan bayar," katanya. Sebab, dua faktor tersebut harus memiliki titik temu agar kebijakan itu bisa berjalan efektif.
Masalah kepuasan pengguna fasilitas BPJS Kesehatan juga menjadi faktor yang harus diperhatikan oleh pemerintah. "Kepuasan ini akan mempengaruhi kemauan bayar dari masyarakat," ucap Lukman.
Oleh karena itu, ia menyarankan agar kajian tersebut dilakukan oleh pihak ketiga. "Agar hasilnya bisa lebih obyektif," katanya. Kajian juga harus melibatkan lembaga yang bergerak di bidang perlindungan konsumen. "Misalnya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia."